Di Dalam Genggam, Masihkah Nilai Bersemayam?


Kita bertanya, apakah pengertian dari nilai? Apakah ia adalah hasil dari mengerjakan ujian, baik yang tengah maupun akhir? Atau ia yang kalau tidak berwarna hitam, ya merah? Atau ia yang lulus ataukah yang remedi? Atau bagaimana?

Kita bertanya, genggam itu apa? Dan yang bersemayam di dalam genggam itu apa? Atau siapa? Dan kenapa nilai di dalam judul dipertanyakan di dalam genggam? Di genggammu, masihkah ada nilai yang bersemayam? Atau terlepas?

Malam kemarin seorang teman menyodorkan pertanyaan pada saya. Pertanyaan tersebut ia buka dengan sodoran istilah public enemy”—yang notabene sedikit asing bagi saya. Tidak langsung menjawab, saya meminta teman saya untuk menyederhanakan istilah itu dan ia menggantinya dengan “musuh masyakat”. Dari situ saya cukup ngeh dengan sodoran istilah yang ia gunakan sebagai pengantar percakapan.

Ia kemudian meneruskan dengan keluh kesah pandangan dan sederet ketidakterimaannya pada tatanan masyarakat terhadap diri dan apa yang ia yakini. Seorang teman yang juga seorang lelaki hampir setengah abad itu lantas menjabarkan satu persatu—meski tidak detail—persoalan yang ia alami. Pergulatan keyakinan yang kadang goyah karena benturan public yang menganggap teman saya sebagai enemy. Tetapi, jangan kau langlangkan pikiranmu untuk memaknai musuh secara harfiah atau musuh secara jasmani. Lebih dari itu adalah persoalan pandangan yang sedikit banyak membuat teman saya seolah berbeda.

Di dalam tatanan zaman yang ini, bukankah perbedaan bersinonim dengan musuh atau lawan? Kita dianjurkan untuk senantiasa seragam bukan untuk peka dan belajar terhadap perbedaan. Tetapi, penyeragaman menggiring kita untuk menolak sesuatu yang memiliki secuil titik beda dari ketetapan masyarakat seragam.

Tolok ukur kesuksesan di lingkungan teman saya—tentu saya juga—berpusat pada banyak sedikitnya kekayaan yang dimiliki: berapa gaji dalam satu bulan; kendaraan apa yang menjadi tunggangan; rumahnya keramik bagus atau tidak; sudah menikah atau masih lajang; serta sederet persoalan materi yang lain. Struktur tatanan telah berubah dan perubahan itu melanda kaum yang kalah. Perubahan itu meletakkan yang kalah sebagai korban—setidak-tidaknya sebagai kaum minoritas yang tidak terima sekaligus tidak bisa apa-apa.

Pekerjaan tanpa penghasilan yang sesuai standar kelayakan bukanlah pekerjaan. Orang- orang menuntut anaknya yang bersekolah untuk meraih nilai tinggi dalam semua mata pelajaran. Tetapi, setelah lulus, anak itu harus mampu berpenghasilan yang cukup. Cukup untuk ini, itu, ita, ina, inu, anu, dan sebagainya. Mengikuti standar capaian yang dikeluarkan dari iklan dan media sosial—juga mulut tetangga yang katanya seperti pecahan kaca, sementara kita kaki telanjang yang melewatinya.

Tidak ada yang peduli tentang keahlian yang dimiliki oleh teman saya dalam membongkar dan memperbaiki sepeda motor. Tidak ada yang kagum mengenai keahliannya dalam memodifikasi rangka kendaraan sekaligus mengecatnya. Masyarakat hanya peduli pada siapa tahun ini yang berangkat mengadu nasib ke manca, ada atau tidak pemuda-pemudi yang menjadi pegawai negeri, atau para perantau yang kembali pulang untuk menunjukkan keunggulan. Barangkali karena itulah teman saya menyodorkan istilah “public enemy” di bagian pertama.

Obrolan malam kemarin antara saya dan teman saya terjadi pada H-2 di hajatan tetangga. Tradisi ikut meramaikan jauh-jauh hari mendekati hari-H menjadi kebiasaan yang telah dijalani oleh masyarakat yang entah kapan awal mulanya. Suguhan makanan ringan dan minuman hangat teh atau kopi menjadi sajian wajib pengantar melekan—tradisi meramaikan rumah yang hendak hajatan.

Melekan biasanya dimulai bakda isya dan selesai secara manasuka. Maksudnya, jika kau mau menyuduhai melekan pada jam 10, 11, 12, atau berapa pun tidak masalah. Paling-paling hanya mendapat celetukan dari teman. Kalau kau sudah memiliki pasangan alias berkeluarga, celetukan akan berbunyi, “kesusu mulih ya arep ngapa? dan kalau kau jomlo, celetukan akan bernyanyi, “kesusu mulih arep mulihi sapa, ana sing nunggu apa? lalu diakhiri dengan haha.

Kalau membedah melekan dari susunan kata, akan ditemukan kata melek dengan akhiran -an. Sedangkal pemahaman saya, melekan bermakna aktivitas berjaga (melek) pada malam hari di rumah sang empunya hajat menjelang hari-H. Berjaga di sini bukan berjaga seperti petugas keamanan, melainkan sekadar turut meramaikan dan dapat pula menjadi lahan silaturahim antarwarga selingkupnya.

Kegiatan melekan pun memiliki ragam atau sub-sub dalam bab yang bernama melekan. Ada yang mengobrol—orang-orang biasa menyebutnya sebagai jagongan. Ada yang bermain kartu—dengan atau tanpa uang taruhan. Ada yang hanya menikmati suguhan sembari mendengarkan lagu yang diputar. Ada yang sibuk sendiri dengan gawainya. Ada yang sibuk bersama memainkan gawainya. Dan, ada yang tidak melakukan apa-apa, hanya duduk-duduk menunggu kantuk.

Saya perlu memaparkan lokasi kejadian obrolan saya dengan seorang teman karena berkaitan dengan beberapa hal yang nampak bergeser dan mengikis. Salah satunya tentang penyajian minuman yang semula menggunakan gelas kaca, bergeser menjadi gelas plastik. Semula menggunakan nampan, mengikis karena kepraktisan menjadi dari tangan ke tangan. Ya, persoalan ini memang tampak cenderung sedikit rumit dan terkesan berlebihan. Tetapi tak apa, toh itu hanya asumsi saya dan siapa saja berhak menyatakan pendapatnya.

Gelas kaca yang malih gelas plastik dan nampan yang tidak lagi digunakan karena segi kepraktisan rasa-rasanya telah menggeser nilai ngajeni. Sama halnya dengan metode penyajian hidangan yang semula dibagikan oleh pramusaji berubah menjadi konsep prasmanan bebas ambil pilih sendiri. Hal itu mengingatkan saya akan cerita Kang Sobirin seorang guru ngaji. Ia menyatakan lebih menghargai hidangan yang dibagikan dari nampan turun ke tangan meski hanya seadanya daripada konsep prasmanan dengan pilihan yang beraneka.

Di alam melekan, kami (saya dan teman saya) berposisi dalam ragam yang pertama, mengobrol. Obrolan semakin mulur memanjang dan melebar, juga sesekali menciut pada istilah


public enemy” yang sedikit demi sedikit mulai dapat saya tarik ke pangkalnya. Di dalam tatanan masyarakat dinamis sangat membuka kemungkinan untuk berdirinya golongan mayoritas dan minoritas, ya atau tidak, benar atau salah. Oposisi biner. Seperti termaktub dalam golongan “enemy” yang diwakili oleh teman saya dengan “public” beserta tatanannya.

Membaca tatanan adalah membaca sesuatu yang ditata kemudian menanyakan latar belakang kenapa sesuatu tersebut ditata dan menjadi sebuah tatanan. Kalau persoalannya terletak pada tatanan masyarakat yang begitu materialis seperti yang telah disodorkan oleh teman saya, yang timbul setelahnya adalah pertanyaan: apakah yang menjadi sebab dari hal tersebut?; situasi seperti apa yang menjadikan pandangan terhadap nilai menjadi minoritas dan termarginalkan dalam lintas edar suatu masyarakat?; dan bagaimanakah langkah yang dapat ditempuh agar persoalan tersebut sedikit menemukan titik terang? Atau setidak-tidaknya memantik kinerja akal untuk menggali unsur sebab-akibat dari suatu persoalan.

Rasa-rasanya nilai telah kikis sedikit demi sedikit. Dibarengi dengan konsep pembiaran dan pemakluman, hilangnya nilai dari lintas edarnya sangat mungkin untuk terwujud—bahkan segera. Orang-orang tidak lagi mempercayai sesuatu yang tidak kasat mata, sesuatu yang tidak berwujud dan tidak bisa dibuktikan oleh pancaindra. Orang-orang memaknai bekerja sebatas kegiatan yang harus menghasilkan uang dan pundi-pundi keuntungan material. Padahal, nilai tidak seremeh persoalan angka yang tidur di atas lembar kertas. Meski tidak selalu kasat dan berwujud, nilai tetaplah ada dan hidup. Pertanyaannya, masihkah? Masihkah nila bersemayam di dalam genggam? Genggammu?


Surakarta, 12 Juli 2022

/M.A.S.

Komentar