Obah


Lagi-lagi menyoal kerja. Beberapa waktu lalu, teman saya yang merupakan seorang ASN pemula—ini tahun keduanya—bertanya kepada saya, “What’s your dream job, Han?”

Wah, dalam palung hati terdalam, kalau boleh request, saya ingin hidup seperti yang sekarang saja. Pemasukan tetap mengalir tanpa harus melakukan kerja-kerja yang berarti—selain pekerjaan lepas untuk dua-tiga kali mengedit naskah dalam sebulan—dan tetap dapat menikmati hidup yang begini-begini saja: main ke sana-sini, membaca, jalan pagi/sore, mendengarkan musik/celotehan di radio, dan pekerjaan domestik sederhana.

Tapi diam-diam saya juga ingin berguna. Kerja, kan, menurut Marx, merupakan proses melakukan perubahan sesuatu menjadi objek yang memiliki nilai. Kalau tidak salah, ya. Soalnya saya baru dengar-dengar saja, belum secara langsung.

Ya, meskipun kelak saya akan melakukan kerja bukan untuk kebutuhan diri saya sendiri. Juga, meskipun nantinya saya akan lebih banyak uring-uringan dan misuh-misuh.

Pekerjaan apa pun, saya kira, pasti menyebalkan. Sekalipun kata orang pekerjaan yang paling menyenangkan adalah hobi yang dibayar, selalu ada masa-masa jenuh dan burnout—meminjam istilah yang belakangan banyak dibicarakan. Ya, namanya juga bekerja untuk orang lain, bukan untuk diri sendiri. Keterasingan saat ini sudah menjadi hal yang lumrah dan kita menerimanya dengan lapang dada.

Kembali, diam-diam saya juga ingin berguna. Apa jadinya hidup tanpa kerja? Apa jadinya hidup tanpa melakukan sesuatu? Apa jadinya hidup tanpa bergerak? Ora obah ora mamah. 

Jika ingin mempertahankan idealisme, sederhana saja. Saya ingin memenuhi segala kebutuhan saya dengan berkebun/bercocok tanam dan jika masih ada yang belum terpenuhi, saya akan menyerahkan hasil panen untuk ditukar dengan apa yang dipunya tetangga sebelah. Hidup yang ideal, barangkali, dalam pikiran saya adalah demikian: kembali pada tatanan yang telah lalu.

Sialnya, saya kadung bergantung pada kapitalisme. Sangat sukar bagi saya untuk hidup jauh dari minimarket dan toko swalayan.

Belum lagi menyoal harga tanah yang kian tidak masuk akal, membuat saya mengurungkan cita-cita untuk memenuhi kebutuhan dengan hasil kebun sendiri. Atau mungkin di hari depan tidak ada sepetak lahan yang tersisa untuk menanam, bisa jadi?

Kembali lagi, apa sebenarnya pekerjaan impian saya? Dulu, saya kira, bekerja di dalam ruangan, menghadap laptop, duduk seharian tanpa perlu banyak gerak dan interaksi adalah sebaik-baik aktivitas kerja.

Tapi saya sadar, saya telah menjalaninya kurang lebih dalam kurun waktu satu tahun ini ketika kesibukan saya hanya sebatas menyusun tugas akhir dan mengedit naskah. Sekarang, saya merasakan kerentaan dan kerentanan tubuh saya sendiri. Sedikit gerak, banyak peningnya. Saya menyadari beberapa pembuluh darah di beberapa bagian kepala saya semacam mengeras di waktu-waktu tertentu. Saya tidak dapat menjelaskannya secara medis, tetapi sering sekali saya hanya mampu terjaga ataupun tidur dalam beberapa jam. Sisanya, saya harus disibukkan dengan fokus pada pekerjaan. Jika tidak, hanya pusing dan kepala berat yang saya rasakan.

Hidup saya tidak bisa lepas dari minyak angin aromaterapi dan parasetamol, juga kopi. Beberapa bagian tubuh saya rentan muncul benjolan, khususnya telinga dan leher. Ini terjadi ketika saya merasa “lelah”, meskipun tidak banyak aktivitas yang saya lakukan. Hanya pekerjaan-pekerjaan sederhana. Pun dengan radang tenggorokan. Rasanya panas, bahkan ketika sudah menghindar dari makanan pedas dan minuman dingin.

Kemudian, keadaan ini saya siasati dengan sedikit demi sedikit melakukan olahraga ringan—sekadar jalan kaki karena saya menikmatinya—dan banyak berkunjung ke sana-sini. Saya harus tetap bergerak. Itu yang utama, pikir saya.

Pertanyaan mengenai pekerjaan impian saya kemudian mengantarkan saya pada keinginan untuk bekerja dengan seimbang. Saya harus tetap bergerak—lagi-lagi. Harus tetap berjalan kaki setidaknya sekian ratus/ribu langkah, sepraktis apa pun teknologi kendaraan memudahkan saya dalam keseharian. Harus tetap bergerak, semenyenangkan apa pun hidup dilingkupi segala kemudahan. 

Ora obah ora mlampah. Saya masih ingin tetap bisa berjalan di usia senja nanti. Tidak dapat dimungkiri, ketakutan terbesar saya sebagai orang yang disebut-sebut sering overthinking ini adalah mengalami “sesuatu” yang berkaitan dengan saraf karena tidak bisa mengendalikan pikiran. Saya ingin organ-organ tubuh saya bekerja secara normal sampai bila-bila nanti. Sederhana, saya tidak ingin merepotkan banyak orang dan menanggung kesakitan-kesakitan, hanya terbaring, misalnya.


Surakarta, 26 Juli 2022

-Han


Komentar