Seberapa Dungukah Kita?

 Selama ini kita mengamini bahwa media memberi pengaruh besar bagi terbentuknya selera masyarakat, menjadikannya “seragam”, lalu individu yang berbeda akan dikucilkan. Ketiadaan media menyebabkan suatu karya tidak dapat dinikmati masyarakat luas. Karya tanpa media hanya bisa dinikmati segelintir orang. Oh iya, media dalam konteks ini adalah media massa atau media (ber-)sosial. Media adalah perantara bagi suatu karya dengan penikmatnya. 

Kita telan mentah-mentah saja anggapan itu, membenarkan bahwa daya media memang sebesar itu, terlepas dari ada kuasa yang bermain di belakangnya atau tidak; terlepas dari di manakah posisi media itu. Terlebih, saat ini media banyak ragamnya, dari yang dapat ditangkap visual hingga audio-visual. Kabar-kabar, pengaruh-pengaruh, dan segala informasi dengan mudahnya terhidang di hadapan, bahkan tanpa kita minta.

Namun, apakah benar? Ternyata, tidak sepenuhnya demikian.

Tulisan ini dapat dianggap sebagai balasan terhadap tulisan sebelumnya berjudul Nggak Malu! yang ditulis oleh Alhas beberapa pekan lalu. Kurang-lebihnya, tulisan itu membicarakan kecenderungan orang-orang untuk menghakimi bacaan orang lain dan betapa kebebasan membaca terenggut lewat anggapan bacaan serius-tidak serius. Juga, persoalan perbedaan jenis bacaan seiring usia. Membaca bacaan-bacaan sejenis yang dibaca beberapa tahun lalu memang menjadi semacam nostalgia tersendiri dalam rangka menengok versi lama diri sendiri dan menyadari sejauh apa/mana diri tumbuh.

Dalam tulisan itu Alhas menceritakan bagaimana ia membaca Ancika, buku terbaru dari serial Dilan. Ia mulai membaca Dilan sejak SMP dan menikmati bacaan tersebut hingga muncul keinginan untuk menjelajahi bacaan lain. Ketertarikannya pada bacaan diakuinya bermula dari situ.

Persoalan yang kemudian bisa ditanggapi yakni kenyataan bahwa kita pernah mengalami masa-masa berhasrat mengikuti arus, misal saat masa remaja yang katanya merupakan masa dalam proses pencarian jati diri. Pembahasan ini akan merembet pada pembicaraan mengenai arus kebudayaan populer. Disadari atau tidak, apa yang kita konsumsi hari-hari ini pasti sedikit banyak mendapat pengaruh dari budaya pop. Atau bahkan, kita adalah penikmat budaya pop itu sendiri.

Budaya pop dinilai rendah karena masyarakat menganggap kebudayaan berbasis komoditas sebagai sesuatu yang tidak autentik, manipulatif, dan tidak memuaskan. Tidak lain yakni karena kebudayaan tersebut ada tidak murni dari masyarakat, melainkan diproduksi bersama komoditas yang untuk kemudian diperoleh keuntungan. Bahkan, Adorno dan Horkheimer berpendapat bahwa produk kultural adalah komoditas yang dihasilkan oleh industri kebudayaan yang meski demokratis, individualis, dan beragam, namun pada kenyataannya otoriter, konformis, dan sangat terstandardisasi. Artinya, sekalipun kebudayaan populer disebut sebagai pertentangan terhadap kebudayaan tinggi yang sering kali merupakan hasil monopoli penguasa, sesungguhnya budaya populer tidak menjadikan manusia mengembangkan gagasannya alias terstandardisasi.

Masifnya media sosial yang digadang-gadang menjadi representasi budaya pop karena karakternya yang menampilkan sesuatu sebatas permukaan menyebabkan suatu komoditas dapat mudah sampai di hadapan masyarakat luas dan dikonsumsi. Media memang merupakan sarana promosi dan pemilik modal dapat leluasa mengembangkan wacana apa saja karena adanya demokrasi tersebut. Masyarakat massa cenderung mengkonsumsi apa yang tampil di media. Belum lagi persoalan mengenai karakter masyarakat massa pasca-industrialisasi yang relatif mudah terpengaruh dan termanipulasi hingga mudah menjadi konsumen dan terpengaruh oleh apa yang dikonsumsinya.

Maka dari itu, saya sempat melontarkan pertanyaan kepada Alhas apakah motivasinya membaca Dilan pada saat itu juga karena mendapat pengaruh dari media. Apa yang mengantarkannya pada produk budaya populer? Ya, meskipun Dilan pada awal kemunculannya tidak setenar saat ini ketika sudah difilmkan dan diparodikan dan disertai lagu dan rupa alih wahana lainnya. Pembentukan selera bacaan pada saat ia membaca Dilan dan karya sejenis apakah murni keinginan pribadi atau memang melihat sekeliling yang ramai dengan Dilan?

Ia menjawab bahwa ia membaca Dilan sebab ketika ia menemukannya, muncul keinginan untuk membaca tanpa perlu rekomendasi dari orang lain atau tanpa mempertimbangkan apa yang sedang diperbincangkan khalayak massa.

Saya, dengan begitu, tidak bisa mengulik lebih dalam lagi untuk meyakinkan teman saya yang satu ini apakah ia betulan tidak mendengar bisikan-bisikan sedikit pun atau hasutan-hasutan lain dari media dan teman-temannya untuk membaca Dilan pada kali pertama. Atau, apakah muncul bayangan positif sebelum membaca Dilan mengenai pengarang, misalnya.

Lha wong sebagai sesama manusia, saya percaya teman saya ini memiliki daya pikir yang cukup baik dan punya kehendak bebas. Tidak selamanya seseorang akan menyantap apa saja yang tersaji. Setiap orang tentu memiliki pilihan, memiliki kebebasan untuk memilih dan memilah. Dan teman saya memilih untuk memilih bacaan-bacaannya tidak berdasarkan apa yang sedang ramai. Bahkan, ketika serial Dilan ramai diperbincangkan dan digandrungi banyak orang, kawan saya memilih menepi, menjadi penikmat dalam kesunyiannya.

Konsumen bukanlah orang dungu yang pasif, melainkan aktif memproduksi makna dengan cara melakukan pemilahan. Begitulah yang menjadi kritik oleh Fiske atas mazhab Frankfurt yang menganggap konsumen atau audien tidak dapat menciptakan makna sendiri ketika dihadapkan dengan produk-produk budaya pop.

Kasus teman saya ini masih belum seberapa mencontohkan persoalan sikap terhadap budaya pop. Lebih dari itu, kita sebagai konsumen disebut-sebut berkemampuan memproduksi makna sendiri atas apa yang kita konsumsi. Tidak mengikuti anggapan umum, tidak pula menelan mentah-mentah gagasan yang ditawarkan melalui agenda pemasaran, serta tentu selalu berpihak pada kebajikan—bila mampu.


Surakarta, 19 Juli 2022

-Han


  1. Baca: Barker, C. (2013). Cultural Studies: Teori & Praktik. Bantul: Kreasi Wacana (halaman 47).

  2. Industri kebudayaan merupakan istilah atau frasa yang digunakan oleh Adorno dan Horkheimer untuk menunjukkan bahwa kebudayaan kini sepenuhnya saling berpautan dengan ekonomi-politik dan produksi kebudayaan oleh perusahaan-perusahaan Kapitalis (Barker, 2013: 47).

  3. Baca: Strinati, D. (2020). Popular Culture. Yogyakarta: Ar-Ruuzz Media (halaman 9).

  4. Baca: Barker, C. (2013). Cultural Studies: Teori & Praktik. Bantul: Kreasi Wacana (halaman 49).


Komentar