Zaman dan Level Alergi Sosial Kita

Sekitar kampus UNS Kentingan, warung makan prasmanan (atau disebut pok-we oleh warga sekitar) yang cukup dikenal banyak mahasiswa, salah duanya yakni Aurora dan Sheryngga. Keduanya menyediakan aneka lauk, mulai dari sayur hingga bermacam daging.

Survei membuktikan—bohong, ding, saya tidak pernah melakukan survei. Hanya, dalam sebuah percakapan dengan teman kos, dia lebih memilih membeli di Sheryngga dibanding Aurora dan—barangkali—seluruh tempat makan yang dia tahu.

Alasannya? Praktis.

Bukankah keduanya sama-sama menjual makanan yang meskipun menu dan selera orang tentu berbeda, harganya toh masih sebelas-dua belas? Namun, menurutnya, Sheryngga lebih praktis.

Bisa dibilang, sistem pok-we (jupok dewe/ambil sendiri) di Sheryngga sangat total karena baik makan di tempat maupun dibungkus, pembeli diberi keleluasaan untuk memilih dan mengambil sendiri makanannya. Sementara itu, warung makan pok-we lainnya tidak demikian. Pembeli hanya bisa mengambil secara mandiri jika makan di tempat.

Namun, tidak sampai di situ persoalannya. Lebih tepatnya, teman saya yang satu ini memilih warung makan yang praktis dan tidak menuntutnya untuk banyak—baginya—berkomunikasi atau bersosialisasi dengan orang lain. Warung pok-we lain masih menanyai pembeli mengenai apa saja yang akan dibungkusnya dan seberapa banyak. Teman saya mengaku malas jika masih harus melakukan interaksi demikian.

Meski agak kaget karena ada orang dengan pertimbangan demikian dalam memilih tempat makan alih-alih membandingkan harga dan rasa, saya kemudian merasa maklum karena kami tergolong generasi yang segalanya serba instan. Perubahan zaman dan tuntutan kecepatan-kepraktisan telah membawa kita di titik ini.

Jika melihat diri sendiri, barangkali saya memang tidak “seekstrem” teman saya dalam menghindari interaksi sosial. Namun, saya juga menyadari bahwa saya lebih memilih berbelanja di toko swalayan berkeranjang dan berkasir alias toko dengan sentuhan manajemen yang modern daripada toko kelontong dekat rumah. Wah, secara tidak sadar saya memang menyuburkan kapitalisme dan memperkaya pemilik modal, bukannya membantu perekonomian tetangga!

Alasannya tidak jauh berbeda. Saya juga merasa malas jika harus melakukan basa-basi dalam interaksi sosial; harus mengatakan apa yang ingin saya beli, alih-alih mengambil sendiri; atau harus menjawab pertanyaan soal pencapaian hidup, alih-alih hanya menjawab “tidak” saat ditanya apakah saya memiliki kartu member atau tidak.

Lebih jauh, saya juga menyadari adanya perbedaan saya—yang mungkin merepresentasikan generasi saya yang serba instan-serba cepat-serba ringkas—dengan orang-orang generasi sebelum saya. Ya, saya tidak memiliki kemampuan tawar-menawar. Saya tidak bisa menawar harga beli barang—apa pun—karena tidak sering dihadapkan dengan situasi yang mengharuskan saya untuk menawar dan sering kali merasa tidak berhak menawar karena tidak terbiasa (atau saya sudah terhegemoni nrima ing pandum?).

Saya terbiasa berbelanja di toko dengan harga pas. Ketika belanja di warung sayur, misalnya, saya sadari tidak pernah satu kali pun terpikir oleh saya untuk menawar. Bukankah  tawar-menawar alias negosiasi adalah bibit agar kelak kita memiliki keberanian untuk “melawan” dalam konteks yang lebih dalam yakni mempertahankan hak-hak yang seharusnya kita peroleh?

Saya takut tidak sempat memliki keberanian itu.

Selain itu, interaksi yang terjadi antara penjual dan pembeli sesungguhnya dapat terasa hangat jika ada “kedekatan” atau “keterkaitan”. Tradisi lisan kita barangkali salah satunya bermula dari proses jual-beli. Ketika ibu-ibu rumah tangga sedang bingung memilih sayur dan bahan makanan yang akan dimasak, misalnya.

Ajeng masak napa, Bu?

Oh, niki, tumis kangkung ngagem tauco kalih oseng tempe mawon.

Wah, enak niku.

Nggih, senengane putra kula. Nek bapake niku paling nyuwune iwak laut.

Lalu, terjadilah percakapan yang hangat dengan bercerita mengenai kehidupan keluarga ideal nan harmonis. Lebih dari itu, bisa juga terjadi perbincangan seru dengan topik motor terbaru milik tetangga, misalnya, yang kemudian merembet ke jenjang pendidikan dan karier anak sulungnya.

Percakapan-percakapan itu jelas sangat jarang—atau bahkan tidak pernah—terjadi di meja kasir minimarket dan toko swalayan. Kegiatan jual-beli yang dilakukan oleh manusia berlangsung secara mekanis saja, seperlunya saja, sangat apa adanya.

Lalu, bertanya-tanyalah kita: obrolan macam apa yang “selalu” layak? Manusia selalu mendambakan ruang untuk dirinya, tetapi ketika terlalu lapang, akan cenderung merasa hampa. Lalu, apakah di hari depan, kemampuan berinteraksi kita secara lisan dan tatap muka akan menyusut? Apakah di hari depan untuk berbincang saja kita perlu mengeluarkan uang? Ke psikolog, misalnya.

 

-Han, menyelesaikan tulisan ini di Pekalongan, 12 Juli 2022

Komentar