Berkibarlah, Kalender! Kau Selalu Dirayakan!


“Ish, kalendernya dibalik!”

Entah kapan terakhir kali saya mendengar perintah itu, perintah yang mengingatkan saya akan pergantian bulan. Pada saat itu, pergantian bulan masih biasa saja, terabaikan malah. Dan seperti setiap malam bergerak ke subuh, pergantian bulan tidak jadi lebih penting dari itu.

Satu-satunya yang penting saat itu mungkin seputar tagihan dan gaji.

Saat ini, pergantian bulan—entah bagaimana—terasa monumental. Sebagaimana tahun baru, ia punya ruang untuk dirayakan.

“Halo, Januari!” hingga “Halo, Desember!” untuk mengawali bulan, atau Januari—Desember dump untuk menutupnya. Betapa kita mudah menciptakan perayaan. Dan pada pertemuan antara akhir-awal bulan itu, harapan diselipkan: kita menginginkan yang lebih dari kemarin. Kalimat klise yang semula diulang setiap pergantian tahun, kini terulang lebih kerap, setiap bulan.

Saya bukan sedang mengoreksi apa pun. Saya tidak punya apa-apa untuk membenahi kelaziman ini. Hanya saja, apakah di setiap tindak-tanduk ini didasarkan pada kesungguhan kita menghargai waktu (minimal momen), atau kesungguhan doa atas “sesuatu yang lebih baik”? Atau, kita hanya senang menemukan fenomena puitik untuk kebutuhan aktualisasi diri?

Jawaban dari pertanyaan tersebut adalah milikmu sendiri.


-Ishmah

Komentar