Dukuh, Gang, Kompleks, dan Transformasi Lainnya


Agaknya bentuk perbedaan antara dukuh, gang, dan kompleks bukan sepenuhnya sebuah perjalanan tata kota dari masa ke masa. Tentu kita menerima bahwa sebutan “dukuh” diperuntukkan bagi daerah rural sebagai pembagian antarkampung, sering kali disertai adanya pemimpin di setiap kampung/dukuh. Sementara itu, gang terdapat di daerah yang letaknya agak di kota, tetapi masih juga lekat dengan suasana “pinggiran’. Mirip dengan dukuh, tetapi biasanya hanya disertai ketua RT/RW. Kompleks merupakan sebutan untuk pembagian wilayah di daerah kota yang dominan berisi perumahan. Biasanya disertai dengan sebutan blok untuk menandai batas-batas.

Sebelum lebih jauh, izinkan saya untuk meminta maaf karena telah mengkotak-kotakkan desa dan kota. Tidak dengan maksud apa-apa selain untuk pembedaan penyebutan istilah—yang konon dilatarbelakangi oleh industrialisasi.

Sependek pengetahuan saya, perbedaan istilah itu memang ditandai dengan kondisi tata lingkungan dan karakter masyarakat. Saya telah berusaha menuliskannya, tetapi—karena pengetahuan saya pendek—saya kemudian meragukan hasilnya. Hanya berdasar penglihatan dan pengalaman saya yang sedikit. Tidak memiliki rujukan apa-apa. Maka, biarlah tulisan itu matang seiring waktunya, seiring proses belajar saya.

Belakangan, yang menarik dari yang saya temui adalah keberadaan akun Instagram gang.gang.an yang mengunggah potret gang di berbagai daerah. Yang paling disorot adalah lokalitas dan keunikannya. Apa yang ditemui di sana merupakan gambaran nyata kondisi tata kota. 

Apa yang muncul dalam bayangan ketika mendengar kata gang barangkali adalah jalan kecil atau setapak sempit. Betapa ruang hidup sangat dipengaruhi oleh situasi pembangunan di setiap zaman dan yang tersisihkan akan menepi, berdesakan dengan sesama yang juga mencari.

Tapi gambaran yang itu lebih lekat dengan daerah kota besar, sementara untuk daerah kota dengan penduduk dan pembangunan yang belum semegah itu, istilah “gang” menjadi lebih ramah dan lebih lapang. 

Di desa saya—yang secara administratif disebut kelurahan—dipergunakan istilah gang sebagai batas wilayah yang memang dengan tatanan demikian untuk memudahkan akses jalan dan pengalamatan. Dapat dikatakan lebih lapang karena ruang hidup kami masih cukup bisa membuat kami bernapas dengan leluasa dan pandangan mata masih bisa menerawang jauh, tidak terhalau bangunan-bangunan tinggi.

Kemudian, masyarakat—katakanlah—kelas menengah (agak) ke atas yang relatif memiliki kesibukan ala pekerja kantoran lebih memilih hunian di perumahan. Kita tidak mengenal istilah gang di perumahan, tetapi lebih kepada istilah kompleks atau blok dengan penamaan jalan sekenanya saja.

Belakangan, masyarakat urban (kalangan muda) kesulitan memiliki hunian dan lebih memilih menyewa apartemen—koreksi saya jika pengamatan ini keliru. Di kota besar, sangat sulit mendapatkan sepetak lahan yang jarak tempuhnya dengan tempat bekerja masih mudah dijangkau. 

Kesulitan-kesulitan dan pertimbangan-pertimbangan lainnya tidak dapat saya jabarkan karena saya bukan bagian dari fenomena itu. Tentu saja karena saya bukan penduduk kota besar dan bukan penghuni apartemen.

Namun, fenomena ini kiranya dapat kita ramal kemunculannya ketika pembangunan dan kapitalisme semakin mengikis ruang hidup masyarakat dan menjadikan mereka tidak kebagian apa-apa sebab kepemilikan properti ada dalam kendali segelintir orang.

Bukan, bukan itu yang ingin saya bicarakan. Perbedaan pengistilahan dukuh, gang, kompleks, dan sebutan lainnya tidak serta-merta merupakan transformasi yang disebabkan zaman. Tidak sepenuhnya demikian sebab saat ini pun masih terdapat daerah dengan penamaan dukuh. Perbedaan ini secara tidak langsung merupakan transformasi yang disebabkan oleh industrialisasi dan urbanisasi. 

Dan, cepat atau lambat, masyarakat daerah rural—untuk tidak menyebutnya desa—bisa jadi akan meninggalkan pengistilahan “dukuh” dan istilah “gang” tidak akan mudah kita dapati seiring maraknya penggusuran dan penertiban—jika di daerah pinggiran kota—untuk kepentingan pembangunan. Keramahan dan kehangatan khas warga dukuh dan gang akan semakin jarang kita temui, berganti dengan interaksi-interaksi kaku yang biasa terjadi di pos satpam kompleks atau lift apartemen.


Surakarta, 2 Agustus 2022

-Hana al Biruni


Komentar