Euthanasia di Batas Derita Manusia

Sehabis menonton Guzaarish, saya mengulang pertanyaan Ethan: apa suara Anda tentang euthanasia?

Euthanasia, pernah saya saksikan dalam kasus lain pada drama Korea, Dr. John. Seorang dokter dituduh pembunuh sebab mengklaim dirinya melakukan euthanasia, meskipun plot twist-nya ia sama sekali tidak melakukan satu pun di antaranya.

Euthanasia, sederhananya adalah tindakan mengakhiri hidup secara medis. Mungkin, boleh dikatakan sebagai bunuh diri secara terhormat. Tulisan ini bukan tulisan ilmiah untuk membahas euthanasia hingga polemiknya. Saya berdiri sebagai publik—yang memisalkan diri—apabila dihadapkan pada jajak pendapat soal hak mati seseorang. Misalkan itu terjadi, apa yang akan saya pilih?

Pilihan pertama adalah tidak. Pilihan ini mungkin tebersit jika saya memilih berpikir praktis dan instan sebab agama saya tegas menyebut hidup dan mati ada di tangan Allah Swt. Qotsman adalah contoh yang populer dalam kasus ini. Rasa sakit yang dialaminya setelah perang tidak lantas mengesahkan tindakannya mati mandiri. Dalam konteks ini, mari kesampingkan dahulu soal niat jihadnya.

Akan tetapi, pilihan ini teramat dekat dengan pilihan kedua. Pada kesimpulan soal “menanggung derita > bunuh diri”, pertanyaan menyembul malu-malu: memangnya, Tuhan sedemikian inginkah melihat manusia-Nya menderita?

Jika pertanyaan itu saya lontarkan, saya menduga akan ditimpali QS. Al Baqarah ayat 286, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” Kemudian, dilanjutkan QS. Al Insyirah ayat 5-6 bahwa setelah sulit itu ada mudah.

Sebagai manusia yang berpikir ala manusia, pertanyaan lain yang meluncur di luar kendali saya adalah:

- Apakah manusia betul-betul dapat menyadari kapasitas “mampu”-nya—minimal—suatu hari nanti?;

- Kemampuan itu, apakah tersedia ekuivalen dengan penderitaan yang akan/sedang diujikan atau ia seperti balon yang melar ketika diisi udara?;

- Batas itu sampai mana?; dan

- Apakah pada kasus serupa Ethan, lumpuh seluruh badan, sementara kemampuan yang dilibatkan tidak lagi seranah personal—ia melibatkan teknologi medis mutakhir dan tercanggih yang artinya mengumpulkan kemampuan manusia di seluruh dunia—adalah hal yang betul-betul mampu ditanggung? Kalaupun iya—sebab katakanlah kemampuan manusia bisa terlatih—bukankah ia tetap terbatas juga?

Saya memutuskan bertanya sampai sini saja.

Pilihan kedua, iya. Pilihan ini boleh jadi saya ambil manakala saya bersedia meminjam sudut ruang seseorang yang berada di ujung penderitaan tapi teramat jauh dari maut. Sebagaimana yang sering saya saksikan di desa. Orang-orang akan mendoakan kematian yang disegerakan atas seseorang yang tengah sakaratulmaut. Saya kira memang ada penderitaan yang kadarnya mendekati sekarat.

Doa ataupun euthanasia sama-sama merupakan manifestasi keinginan mengakhiri penderitaan orang lain. Yang berbeda adalah euthanasia lebih nyata sebagai tindakan. Namun bagaimana pun, baik euthanasia maupun doa orang-orang, keduanya adalah tindakan empatik. Keduanya mengamini bahwa ada derita yang tidak bisa terlalu lama ditanggung manusia, terlebih sekarat atau hampir sekarat itu sendiri.

Jadi, di pihak mana saya?

Saya sebagai pemeluk agama, praktis menolak. Saya sebagai manusia, mempertimbangkan atas nama empati. Pada akhirnya, tulisan ini pun gagal memberikan pilihan final.

Maka, pilihan ketiga adalah: apa pun yang terjadi, saya mendoakan manusia dalam keadaan sehat fitrahnya: ber-pikir dan ber-rasa.

-Ishmah

Komentar