Reading Journey


Salah satu kegiatan,yang barangkali aku katakan saat ini selalu menempati ruang sel keinginan di otak adalah membaca—meskipun tidak jarang kegiatan itu tertunda oleh sebab banyak hal. Beberapa waktu lalu, aku sempat menyinggung soal membaca juga dalam Nggak Malu! yang berisi pengalaman membaca Dilan sebagai perjalanan awal membacaku. Sekarang aku ingin nulis soal bagaimana aktivitasku ketika membaca. 

Aku rasa akan sangat disayangkan ketika kita selesai membaca buku tapi kita tidak mendapatkan apa-apa. Meskipun memang harus aku akui, terkadang aku pun begitu: setelah membaca merasa kosong. Karena merasa demikian, aku berpikir bagaimana caranya agar aku merasa mendapatkan sesuatu setelah membaca. Ini bukanlah sebuah keharusan yang membuat sesuatu harus ada, melainkan merupakan sebuah cara untuk memaknai dan memberi nilai dari apa yang sudah kita lakukan. Seperti pada pertemuan Majelis Melaku, 14 Juli yang lalu, aku sempat membekali diri dengan tulisan Series Netflix. Isinya tentang beberapa serial Netflix yang pernah aku tonton. Pada pertemuan itu salah satu teman bertanya, “Setelah nonton itu, kamu dapat apa?” Barangkali pertanyaan itu juga membuatku jadi mencari-cari, “Oh iya, aku dapat apa, ya?”

Sebuah disclaimer, aku akan mengatakan journey atau perjalanan membaca setiap orang tentu berbeda-beda. Jadi, tentu penerimaan setiap orang atas apa yang ia baca juga berbeda. Masalah mendapatkan atau tidak mendapatkan apa-apa dalam kegiatan membaca adalah pilihan setiap orang. Banyak orang yang selalu mencari-cari sesuatu dari banyak hal di setiap bacaannya, banyak juga yang cuek (pikirnya: baca ya baca aja), banyak juga dari mereka yang rela mencoret-coret segala sisi buku untuk menyatukan jiwa mereka dengan setiap kata yang ada di dalam buku, dan bermacam-macam lainnya. 

Namanya juga sebuah perjalanan. Takdir dan jodoh dari Tuhan tentu memiliki peran besar dalam alur cerita panjang ini. Perjumpaan dengan buku adalah kisah yang dimiliki setiap orang. Misalnya saja perjumpaanku dengan buku-bukuku. Taruh saja buku Ronggeng Dukuh Paruk yang aku beli mendadak ketika ada seminar yang pembicaranya adalah Ahmad Tohari. Usai seminar, aku minta catatan kecil dari si penulis di buku itu. Sayang, ternyata aku hanya mampu baca halaman awal saja dan tidak menandaskannya sampai detik ini. 

Buku lainnya, misalnya Dunia Sukab. Aku menginginkannya setelah membaca Sepotong Senja untuk Pacarku dan karena penulisnya adalah Seno, penulis jail dengan permainan alur yang nyleneh dan kerap memainkan satu nama tokoh di banyak cerita yaitu Sukab.  Lain lagi dengan buku yang aku labeli dengan julukan favorit, judulnya Na Willa dan baru saja terbit serial terbarunya yang ketiga. Awal perjumpaanku dengan Na Willa karena garapan awal skripsiku yang ingin membedah sastra anak. Aku mencari-cari sekaligus bertanya-tanya tentang cerita-cerita anak yang ditulis oleh orang dewasa. Kerap kali aku temui ditulis berdasarkan kacamata orang dewasa. Sayang sekali, pikirku. Kemudian, aku menemukan satu artikel terkait wawancara penulis, Reda Gaudiamo, yang membahas sastra anak. Aku menyukai bagaimana sudut pandang dia sebagai penulis dan bagaimana dia mengungkapkan fenomena serta iklim sastra anak di Indonesia dengan menyayangkan bahwa di Indonesia tidak banyak buku anak yang cukup berkualitas dengan mengangkat sudut pandang tokoh dari kacamata anak-anak. Dari situlah akhirnya aku mencari-cari buku Bu Reda. Ketemulah Na Willa. Ternyata aku sukaaa!

Aku bukan tipe orang yang punya rasa ingin tahu yang tinggi. Jadi, ya, aku hanya seorang manusia yang medioker. Tapi, aku telanjur kepikiran kalau baca buku tidak mendapat apa-apa alias kosong. Jadi, oke, aku memulai dengan beberapa pertanyaan untuk memaknai kegiatan membacaku: Buku apa sih yang aku baca?; Siapa sih penulis yang pengin aku baca karyanya?; Kenapa aku baca buku ini?; Bagaimana awalnya aku bisa kenalan sama buku ini?; Bukunya soal apa sih?; dan lainnya. 

Sebenarnya hal ini tidaklah penting-penting amat tapi kadang penting. Metode ini aku pakai untuk melanggengkan ingatan tentang isi buku yang sudah aku baca. Aku menyadari bahwa setelah aku mengenali beberapa penulis, ada kanon dan pretensi terhadap beberapa buku. Aku sangat mengakui itu. Ya, karena aku yang menciptakan batas dan bias itu sendiri. Ada baiknya, ada juga buruknya. Baiknya mungkin masing-masing kita jadi mengenali minat dan genre buku yang kita sukai. Kita bisa menempatkan diri dan menciptakan koneksi secara tidak langsung sebelum membaca buku itu. Buruknya tentu kacamata kita jadi sedikit tertutup untuk beberapa hal yang kita anggap kurang sesuai dengan minat kita. Sebagai contoh, aku sekarang sedikit tidak berminat dengan genre teenlit. Kembali lagi, pertanyaan-pertanyaan tadi hanya menjadi pancingan untuk aku bisa melangkah ketika telah atau belum mendapat sesuatu sesuai yang aku inginkan. Hanya saja, aku tidak memaksakan untuk harus dan selalu ada, tidak. Kalau tidak ada, ya, tidak apa-apa. Hal itu sama seperti waktu awal ketika aku membaca. Aku hanya ingin tidak berekspektasi terlalu banyak dengan isinya. 

Aku selalu membaca sesuai dengan kemampuanku. Menurutku, ini adalah hal yang sangat penting. Kenapa? Karena memaksakan baca buku tapi nggak ngerti isinya itu cape banget! Aku pernah mengalami ini waktu baca Negeri Senja-nya Seno dan 1984-nya George Orwell. Aku berhenti di tengah karena pusing. Aku tidak terlalu menikmati baca Negeri Senja, padahal hampir menyentuh halaman-halaman akhir. Begitupun 1984. Aku terlalu pusing dengan gaya bahasanya yang terlalu banyak metafora—barangkali ini juga terkait penerjemahan—meskipun secara alur aku bisa terima. Koneksi dengan buku ini juga sangat menghemat energi karena mungkin sel-sel dalam otak kita punya jalan yang sama dengan alur cerita yang ada dalam buku atau dalam bahasa Jawa disebut nggatuk. Koneksi ini juga bisa membantu kita untuk mengingat detail-detail cerita yang bisa membawa kita untuk mendapatkan sesuatu dari kegiatan membaca itu. That’s it!

Sekarang aku pun sering memilih buku karena membaca ulasan atau karena saran orang lain. Pretensi dan kanon yang aku ciptakan sendiri membuat aku saat ini jarang terbuka ke banyak buku. Aduh, parahhh! Jadi, saran-saran dan ulasan-ulasan orang sering aku terima. Misalnya saja, Keajaiban Kelontong Namiya, Kim Ji Yeong Lahir Tahun 1982, Gadis Kretek, Le Petit Prince, dan lainnya. Masih banyak, tidak bisa disebutkan satu-satu. Beberapa saran dan ulasan itu juga aku sesuaikan dengan kemampuan membacaku. Jadi, kembali lagi ke koneksi. Koneksi antara minat dan isi. 

Kegiatan lain yang aku lakukan biasanya menandai hal yang menurutku penting. Hanya saja, ini sudah jarang karena aku terlalu malas untuk menyandingkan sticky notes di sampingku setiap baca. Tapi, terkadang, penandaan ini juga membantu dalam mengingat detail-detail cerita yang menarik. Pernah beberapa waktu lalu aku melihat note di buku Gadis Minimarket. Itu sangat membantuku mengingat hal kecil yang berputar di pikiranku ketika menulis Keiko. Tapi, ada juga note di salah satu buku—yang aku lupa judulnya--membuatku bingung kenapa aku menandai kalimat itu, padahal setelah aku baca lagi, tidak ada apa-apa di situ. Jadi, take notes juga menjadi pilihan saja. Kalau sewaktu-waktu ingin menandai, aku menandai. Kalau malas, ya tidak. Simple.

Berakhir sudah perjumpaan kisah reading journey singkat ini. Comfort zone-ku saat ini sebenarnya baca biasa saja, kadang diselingi pertanyaan-pertanyaan. Tapi, tidak seintens itu. Hanya saja, aku sekarang mulai mau menulis list judul-judul buku yang udah aku tamatkan dan memiliki keinginan untuk menuliskan sesuatu setelah baca. Soal list itu, aku hanya ingin tahu pada tahun ini aku menghabiskan berapa buku. Yea, just want to know, hehe. Tapi, tapi, sejujurnya salah satu alasan menulis list itu adalah karena aku seorang s l o w  r e a d e r . . . hihi. 

Membaca adalah soal kenyamanan. Bagaimana metodemu ketika membaca, itu menjadi pilihanmu. Jadi, pilihlah nyamanmu sendiri. Reading Journey-ku kali ini aku tutup dengan kalimat Pak Pram—aku tidak menemukannya di mana pun, jadi aku tulis intinya. 

Buku yang baik bukanlah buku yang dicetak berulang-ulang, melainkan buku yang bisa mengubah dan membuat pandangan baru seseorang terhadap sesuatu. 

Sekian!


Surakarta, 16—22 Agustus 2022

Alhas


Komentar