Subuh

Sarirotul Ishmah


Khidmat. Suatu pagi alam sedang berupacara memuja Tuhan. Seluruh makhluk turut, kecuali manusia. Embun begitu tabahnya turun dari satu daun ke daun lainnya. Ia tak sedang tergesa-gesa masuk ke tanah. Struktur daun dan konstelasi klorofil begitu rapat, begitu hijau segar. Tanah masih harum menguarkan aroma yang dipendam dari sisa hujan semalam. Pada setiap dahan begitu damai diisi sarang-sarang kami yang saling berangkulan. Adalah sekawanan kelelawar yang menghormati ritual ini tak langsung menggantung diri ke langit-langit gua. Mereka mengawal ritual dengan kepakan sayap yang tampak tegas tak beringas. 

Upacara ini tak punya sistem. Kami terlalu bebas untuk menegakkan satu definisi sempit soal rasa syukur. Lagi pula, aturan ibadah dan upacara itu cuma buat manusia. Tuhan lebih percaya pada keimanan kami, pikirku di tengah pagi yang khusyuk. Situasi ini digenapkan sayup-sayup suara azan surau. Subuh memasuki hari, dan kami masih meninggikan khidmat. Selanjutnya, kami akan melihat kawanan pencatat amal baik menjadi pengangguran karena tuannya masih pulas di atas ranjang.

Ini terjadi setiap hari. Kami selalu merasa perlu membersihkan diri sebab ketika orang-orang itu bangun, mereka akan kesurupan rutinitas, merasa paling sibuk. Yang terjadi selanjutnya tak menjadi soal bagi mereka, sebab yang terpenting adalah kehidupan mereka. Benar, seperti mereka berpikir kehidupan adalah milik mereka, alam harus juga mandiri dalam perkara yang sama.


Komentar