Yang Healing dan yang Hilang
Healang, healing, healang, healing~
Kemerdekaan ini mungkin ada baiknya kita isi dengan
merenung. Misal, merenungi kekayaan alam yang digaung-gaungkan oleh siapa saja.
Dan tentu kita tidak dapat menyangkalnya. Meskipun belum berkunjung ke negara
lain, baiknya memang kita setuju-setuju saja jika dikatakan bahwa Indonesia
memiliki keindahan alam, lain dari negara mana pun.
Ya, ya.
Sebelum akhirnya masyarakat adat semakin terpinggirkan
dan kehilangan ruang.
Ya, ya.
Sebelum segalanya dibabat ditumbangkan, berganti
resor-resor, vila-vila, dan hotel—dan (barangkali) naiknya harga tanah atau
sewa lahan.
Ya, ya.
Sebelum seluruh titik diberi ikon hati agar menjadi
sekadar tempat berfoto.
Tapi bukankah kita sudah sejak lama menyadari
keindahan alam kita dan itu tidak perlu dipertegas lagi? Apakah barangkali
selama ini kita terlalu terpukau dengan wahana-wahana urban seperti mal dan
taman bermain? Apakah masyarakat kita sudah berbondong-bondong menuju “manunggal”
dan salah satu langkah awalnya adalah kembali ke alam? Tunggu sebentar.
Kembali? Benarkah kembali? Atau hanya sebatas menengok?
Bermula dari Media (Televisi)
Saya kira, kita dapat menyoroti satu hal yang lumayan
penting dari media, khususnya televisi, yang kian memengaruhi masyarakat untuk
berwisata ke alam terbuka. Mari kita sebut salah satu program bertajuk “My Trip
My Adventure” yang ditayangkan oleh Trans TV circa 2013-an. Berisi dokumenter
petualangan ke tempat-tempat eksotis dan estetik (demikianlah penyebutannya
agar menarik), acara ini perlahan membangkitkan tempat-tempat wisata
yang—seolah—wajib dikunjungi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan, jika tidak salah
ingat, pihaknya juga bekerja sama dengan Kementerian Pariwisata untuk mendukung
sektor ini.
Keren juga, pikir saya. Apalagi, saya yang pada saat
itu hanya menjadi penonton pun sangat terhibur dengan sekadar melihat
pemandangan-pemandangan yang ditampilkan. Sensasi mendaki dan terjun ke danau
dan mengarungi jeram, misalnya, turut menggugah gairah berpetualang saya yang
saat itu masih lugu. Hingga kemudian saya mengikuti ekstrakurikuler pencinta
alam di sekolah. Sederhana, karena terbiasa menonton dokumenter perjalanan dan
petualangan, tidak hanya program yang satu itu.
Secara tidak langsung program My Trip My Adventure
(disingkat MTMA) memang mengenalkan destinasi-destinasi wisata baru
kepada masyarakat. Dengan demikian, warga setempat dapat menyediakan sarana dan
prasarana untuk memudahkan pengunjung yang berwisata. Atau, sebenarnya bukan
warga setempat, melainkan para investor? Wallahua’lam.
Bermunculanlah bangunan-bangunan dan
pijakan-pijakan—dan jangan melupakan sampah-sampah—sebagai bukti peradaban
bahwa tempat telah terjamah dan pengunjung tidak perlu gusar dan takut tidak
menemukan kenyamanan.
Barangkali memang demikian. Manusia-manusia manja yang
selama ini dimanjakan oleh kemudahan-kepraktisan dan
ke-serba-instanan/ke-serba-nistaan ketika berkunjung ke daerah yang semestinya
menyadarkan tentang awal-mula, justru mendambakan kenyamanan itu dan melupakan
perenungan-perenungan? Ah, barangkali dinamika zaman memang demikian.
Beralih ke Media Sosial yang Visual
Tapi tidak hanya itu, keberadaan media sosial
Instagram pada tahun-tahun seiring dengan tayangnya MTMA masih
menomorsatukan nilai keindahan suatu unggahan (postingan, belum untuk fitur story/cerita).
Maka, tidak sedikit orang kemudian berlomba-lomba mendatangi suatu tempat agar
mendapat foto kemudian diunggah ke media sosial tersebut. Tempat-tempat wisata
juga berlomba-lomba berbenah dan menghias diri.
Tapi—lagi-lagi tapi—barangkali kita gagal memahami
satu sama lain dan berlainan memaknai nilai keindahan. Terserah akan bersepakat
atau tidak, bagi saya—atau mungkin juga beberapa orang—ikon hati yang nyaris
ada di setiap tempat wisata justru mengurangi keindahan alam yang ada. Boleh
jadi mereka, pengembang atau masyarakat sekitar atau penyedia fasilitas (dalam
konteks ini kaitannya dengan pejabat pemerintah), telah berusaha dengan
maksimal dalam menyediakan tempat-tempat estetik untuk berfoto. Hal ini kaitannya
untuk kebutuhan unggahan di media sosial. Ya, tidak salah dan tidak apa-apa
juga. Toh, kita dapat memilih untuk tidak berfoto di tempat tersebut.
Estetika dan Kebutuhan Rohani Manusia
Bukan sebuah hal yang salah apabila seseorang memilih
bepergian ke alam terbuka untuk memeroleh ketenangan. Barangkali memang terlalu
lelah dengan hiruk-pikuk kehidupan di kota. Nyatanya memang benar demikian.
Kehidupan—yang nyata maupun maya—sama-sama bikin jenuh dan kusut. Rutinitas
ini, rutinitas itu, validasi ini, validasi itu, kesalahpahaman ini,
kesalahpahaman itu, segalanya mengantarkan kita—orang-orang murung—mencari
sesuatu dalam diri agar terasa genap, penuh, lengkap, utuh. Jika orang lain
melakukannya dengan berbelanja/melakukan aktivitas konsumsi dan hedon, beberapa
orang memilih mencari kesejukan dan pemandangan, sebenar-benar cuci mata.
Setelah daya pikat pariwisata yang berupa perombakan
dan pengadaan ikon hati tidak lagi menarik masyarakat, tibalah kita pada satu
pengaruh tren yang baru.
Tentu kita tidak dapat melupakan bagaimana masyarakat
hari ini diperkenalkan sekaligus disadarkan dengan isu kesehatan mental. Sehat
lahir batin, jiwa raga. Demikian yang diserukan.
Persoalan mental memang telah lama diperbincangkan dan
bukan merupakan barang baru. Namun, lagi-lagi dinamika zaman telah
mengangkatnya ke permukaan. Ini belum menyoal komodifikasinya dan barang-barang
dagangan penyertanya. Tunggu dulu, sabar dulu.
Kapitalisme dan cara hidup masyarakat pada saat ini
dapat dikatakan begitu mekanis dan sangat monoton. Terasing. Manusia terasing
dari dirinya sendiri lalu berusaha menemukan kembali dirinya lewat kunjungan ke
tempat-tempat yang dapat membawanya pada ketenteraman semu.
Belum lagi perkara kehidupan di dunia maya—media
sosial—yang kian menguras daya hidup kita setiap harinya. Berlomba-lomba meraih
ina-ini-itu-anu, mencari pengakuan, dan kebutuhan memperluas jaringan/relasi
dengan jumlah pengikut. Bahkan, hingga merampas ruang privat penggunanya—tanpa
disadari. Masyarakat saat ini, kemudian, sering dibilang lemah dan memang
demikian adanya. Tantangan zaman tentu berubah dan pencapaian-pencapaian
manusia beserta kemampuannya pun turut berubah. Pun, jangan lupakan
ketidakmampuan-ketidakmampuannya. Bersosialisasi dan berinteraksi secara
langsung, misalnya. Sebut saja memang kita terlalu banyak bersembunyi.
Entah dari mana akar dan mulanya konsep healing
diperkenalkan pada masyarakat kita. Namun, istilah itu tentu bukan istilah
baru. Kemunculannya ke permukaan diiringi dengan kebutuhan masyarakat untuk
“menepi” dari ingar-bingar. Sialnya, tata lingkungan, tata kehidupan, dan
segala yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas era kapitalisme ini tidak
menyejahterakan batin. Maka, masyarakat membutuhkan healing—diiringi dengan
keperluan update instastory, barangkali.
Diperuntukkanlah healing bagi siapa-siapa yang
merasa kehilangan, yang merasa tidak utuh dan terasing.
Dampak baiknya yakni pada sektor pariwisata yang dapat
mempromosikan diri melalui iming-iming healing. Ya, kapitalisme,
kesehatan mental, dan pariwisata. Kesemuanya menjadi semacam lingkaran tak
putus yang saling berkaitan dan saling mengomodifikasi.
Surakarta, 16-17 Agustus 2022
-Hana al Biruni
Komentar
Posting Komentar