Hidup adalah Penderitaan?



“Bagi orang seperti sahaya, Bendoro, sebenarnya tidak ada hukuman lagi. Hidup pun sudah hukuman.”

“Syirik! Tak tahu bersyukur pada Tuhan.”

“Sahaya, Bendoro.”

“Pergi kau. Sekarang juga tak perlu injakkan kaki di rumah ini, jangan pula di pekarangannya.”

“Sahaya, Bendoro.” (halaman 120)

Seorang hamba sahaya atau abdi dalam Gadis Pantai terceritakan terusir dan tidak diperkenankan lagi untuk mengabdi kepada Bendoro alias tuannya karena mengatakan bahwa ia merasa memikul beban mahaberat yakni nyawa dan hidupnya sendiri. Memang, sebelumnya telah disebutkan juga bahwa jalan hidupnya sangat terjal dengan beragam kehilangan dan ketertindasan. Selapang apa pun ia menerimanya, ia tidak bisa tidak untuk meyakini bahwa ditakdirkan menjalani hidup yang panjang nan melelahkan adalah sebuah hukuman. Atau bahkan, dilahirkan saja adalah hukuman? Ya, meski konteksnya adalah dilahirkan di keluarga biasa, menjadi kaum papa. (Kita lupakan bagaimana ketidakkonsistenan tokoh si mBok yang mengaku senang sepenuh hati mengabdikan diri dan hidupnya pada tuannya, tetapi sekaligus menganggap hidup adalah sebuah hukuman).

Barangkali kita tidak asing dengan apa yang beberapa kali sempat terdengar atau bahkan terlintas di benak kita masing-masing: Siapa juga yang minta dilahirkan?

Entah bagaimana konsep teori atau dalilnya, perbincangan-perbincangan yang sebentar riuh sebentar rendah itu mengantarkan saya pada penjelasan bahwa sebenarnya kita sebelum dilahirkan ke dunia memang sempat diberi gambaran mengenai bagaimana kehidupan yang akan kita jalani dan juga diberi pertanyaan kesanggupan hidup di dunia. Wallahu a’lam. (Ya, sedikit-sedikit wallahu a’lam, alih-alih mencari referensi atau rujukan, atau bahkan bertanya pada yang lebih tahu.)

Lalu tanda tanya memberat pada kebahagiaan macam apa yang telah dijanjikan yang membuat kita menyanggupi dan menyetujui kehidupan yang sering kita keluhkan ini?

Masa-masa hilang arah tentu pernah beberapa kali saya alami. Juga, hari-hari berat yang menyesakkan berisi kecemasan berkepanjangan. Meski jelas tidak untuk dibanding-bandingkan. Tapi benarkah hidup adalah hukuman, sebuah penderitaan? Hidup yang diperjuangkan setiap harinya dengan yang katanya menyambung hidup ini? Hidup yang mana? Penderitaan yang mana yang layak disambung dan diperpanjang? Jika hidup adalah sebuah hukuman, itu hukuman untuk menebus kesalahan siapa? Kesalahan orang tua yang mengandung, melahirkan, dan membesarkan anak ketika situasi sedang serbasulit? Ataukah hukuman atas kesalahan diri di masa lalu di kehidupan yang lain—jika percaya konsep reinkarnasi? Jangan-jangan ini hanya persoalan cara memandang, cara berpikir? Derita setitik, rusak nikmat sepanjang hayat. (Memang, toleransi setiap orang terhadap rasa sakit dan kesedihan berikut trauma yang diakibatkannya berbeda-beda. Tapi itu lain soal, tidak dibahas di sini karena itu merupakan kuasa para ahli ilmu jiwa.)

Jika hidup adalah penderitaan, mengapa tidak diakhiri saja? Dalam konteks ini, terserah ingin ditafsirkan menjadi sebenar-benar mengakhiri penderitaan = hidup atau sekadar penderitaan itu sendiri. Hari-hari ketika dipenuhi dengan pertanyaan: Bagaimana caranya pulih?; Akankah derita kesedihan ini berakhir?; Apakah saya akan kembali seperti saya yang semula?; hingga Jika ada jalan untuk keluar dari “penderitaan”—alias rasa sedih, bingung, cemas—ini, bisakah Kau tunjukkan?, saya pun mencoba keluar dari penderitaan itu dengan satu per satu menata kekacauan cara berpikir saya. Meski belum sepenuhnya mendapat jawaban, saya kemudian hanya meyakini apa yang ingin saya yakini—serasional mungkin.

Lalu, saya sampai pada perbincangan mengenai pengabulan keinginan untuk bunuh diri di suatu negara—dalam tulisan Euthanasia di Batas Derita Manusia (majelismelaku.blogspot.com) sebelum merembet pada fakta bahwa di sekitar juga ada yang semacam itu dengan cara lain. Betapa banyak orang sebenarnya mendambakan kematian, pikir saya. Alasannya, untuk mengakhiri penderitaan, baik berupa rasa sakit fisik maupun psikis. Ya, hidup dengan menanggung rasa sakit tak berkesudahan memang sangat melelahkan.

Tapi kemudian saya memandang kasus-kasus bunuh diri lain—yang biasanya muncul di berita atau menjadi topik dalam sebuah cerita. Banyak yang mengatakan bahwa mereka sesungguhnya sangat ingin hidup dan lewat aksinya itu justru ingin menyampaikan pesan. Saya setuju saja. 

Mengapa orang sangat ingin mati, sementara kata Nabi, yang paling dekat dengan kita adalah kematian? Orang-orang yang sangat ingin segera mati dan takut menghadapi hari esok karena takut mengalami derita yang sama, bukankah mereka adalah orang yang sesungguhnya optimis akan tetap hidup? Sialnya, pesimis bahwa hari esok tidak memberi kebahagiaan setitik pun. Bukankah tanpa menginginkannya, kita sudah pasti menemui kematian?

Barangkali yang mereka yakini adalah matahari tetap terbit-tenggelam, tetapi penderitaan tidak pernah padam tidak pernah surut atau menyusut, hanya bersalin rupa. Hari esok yang diyakini akan datang itu, kenapa sebegitu yakin masih berumur sepanjang pergantian hari? Adalah ketakutan, saya dapat menerkanya. Rasa takut dan cemas untuk menghadapi penderitaan dari hari ke hari selama ini, saya kira. Sebagaimana ketakutan akan kebahagiaan yang lekas berakhir (seperti lirik lagu kemesraan ini janganlah cepat berlalu), bukankah setiap penderitaan juga pasti akan berlalu? Maka ini akan menjadi sebenar-benar bertahan hidup sembari menemukan cara mengakhiri penderitaan—menempuh upaya pulih atau menunggu kematian dan bukan menciptakannya. Sebab yang perlu dihidupkan (kembali) adalah jiwa, bisa jadi?

Surakarta, akhir Agustus—awal September 2022

Hana al Biruni


Komentar