Ibu Pergi Tanpa Suara



Ibu kita sudah usai dan pamit dengan hening. Beberapa patah kata hanya terlontar pada satu, dua, tiga orang, dan berakhir dengan katanya, katanya, katanya. Ibu kita pamit tanpa kata-kata. Tentunya aku tidak tahu persis apakah ia hanya menjalani prosesi kegiatan pulang ke rumah seperti biasa atau ada yang lainnya. Aku tidak tahu. 

Kata-kata itu akhirnya tidak jadi berubah menjadi katanya, tetapi nyatanya. Nyatanya, bangkunya telah kosong. Nyatanya, namanya sudah dialihkan menjadi nama lain di daftar-daftar mahasiswa bimbingannya. Nyatanya, kehadirannya di ruang itu sudah absen. Nyatanya, tidak ada lagi jadwal pengajaran darinya. Nyatanya, dia memang ada di rumah. Syukurnya, tetap sehat. Dan syukurnya lagi, kenang, memori, kisah kami masih tersimpan dengan baik.

Barangkali pergi diam-diam memberikan isyarat bahwa ia sebenar-benarnya memang tidak pernah pergi. Hanya menetap di tempat lain. Barangkali, ya barangkali. Akan kembali lagi sesekali, dua kali, tiga kali untuk suatu keperluan. Pasti akan. 

Pergi tanpa kata barangkali juga merupakan tanda bahwa prosesi kepergian sebenarnya mungkin tidaklah perlu perayaan dengan tangis yang meraung-raung. Barangkali tangis hening. Atau tanpa tangis sedikit pun. Hanya perlu kepergian yang tenang untuk memulai hari-hari tenang lainnya.

Kepergian yang tenang berangkali juga merupakan sebuah jalan penantian untuk menyambut harapan baru, orang baru, cara baru, dan hal-hal baru lainnya. Barangkali pergantian itulah yang ditunggu orang-orang di luar sana. Barangkali, ya barangkali. Karena belum siap untuk menimpa banyak kebaruan, kekosongan itu didiamkan dalam keheningan. Atau barangkali, ya barangkali. Tempat itu memerlukan waktu yang cukup untuk diisi kembali.

Waktu telah usai. Begitu pula nantinya masing-masing kita pasti akan bertemu hal yang serupa. Selesai. 


Surakarta, 3 September 2022

Alhas


Komentar