KEADAAN YANG LUCU, SAYA BOSAN MENANGIS

 

Yang benar saja. Ini tentang kelucuan atau kesedihan? Kalau lucu kok menangis,
kalau menangis kok lucu.

Saudaraku yang kalah dalam keadaan. Yang mukanya babak belur dipukul nasib dan ketimpangan. Jangan bersedih. Kemakmuran dan angan-angan kesejahteraan ada di depan mata. Ya, tepat di depan mata kita bersemayam kesejahteraan. Namun sayang, kesemuanya bukan milik kita. Dan kita hanya berposisi sebagai penonton. Tidak bisa ikut andil, apalagi mengambil alih tonggak kesejahteraan. Sebab roda telah mampat putarannya. Kita yang menghuni lokasi bawah, harus bersabar sampai teknisi selesai membenahi macetnya bianglala, biangkerok, biangkeladi, biangkeringat, sampai ssst janganbiangbiang.

Saudaraku yang tidak menang-menang. Ingatlah akan hari esok yang selalu tidak datang pada hari ini. Ingatlah dengan matahari yang selain memancarkan panas dan terik, juga memancarkan rizki, memancarkan hidup, dari Yang Mahahidup. Sebagai pribadi, saya hanya mampu berpesan, meski tidak jarang berakhir satu centang. Saya paham, bukanlah kalimat merdu apalagi dongeng khayalan yang Saudara sekalian butuhkan, melainkan kenyataan yang bermula dan berakhir secara bahagia. Tapi, Saudara, kebahagiaan masih luput dalam genggaman saya, maka di sini saya tidak mampu berkata-kata mengenainya. Apalagi berjanji, seolah saya hendak mencalonkan diri saja.

Saya hanya bisa menyemogakan kata-kata yang mengena. Bisa jadi semacam puisi yang diolok-olok tidak mampu meredakan lapar apalagi menjadi perbaikan gizi. Tapi, bukankah kelaparan sendiri adalah puisi? Bunyi perut adalah rima dan kegelisahan adalah gagasan yang patut kita sampaikan, bukan?

Tentu dan memang bukan. Karena di dalam pepatah hanya ada batu yang ditanak ibu. Bukan puisi. Bukan artikel yang terbit terlalu tinggi dan kita tidak mampu menggapainya. Karena tidaklah berguna bahasa tinggi ketika tidak mampu merampungkan persoalan sehari-hari. Ya, tentu dan memang. Persoalan tinggi tidaklah mengenal hari-hari, bulan-bulan, dan tahun-tahun. Persoalan hakiki tidaklah mengenal keterbatasan dan kesempitan waktu. Ia abadi, barangkali, seperti kata si Parji, yang fana adalah WA-mu, centang biru abadi.

Beberapa dari kita sudah gelisah akan lulusan yang bekerja tidak sesuai pada bidangnya. Hari ini dan mungkin sudah dari dulu kala, ditambahlah kegelisahan kita dengan kasur-kasur pemerintahan yang direbahi badut-badut yang sama sekali tidak lucu—lebih dari itu, menakutkan. Hampir semua hal hari ini terbolak-balik dan sering membikin kecelik. Seperti larik yang pernah saya-kecil lantunkan: kecelik kacang ijo, isih cilik wis duwe bojo.

Masih kecil kok sudah punya pasangan, masih bodoh kok merasa pintar, masih murid kok merasa guru, masih ini kok merasa itu. Hmmm… raimu.

Menyoal yang lucu-lucu, hari ini kita diperlihatkan pada standardisasi kelucuan yang menjadi acuan untuk terlibat dalam urusan konsumerisme berlebihan. Kita memilih berdasarkan mana yang lebih lucu—meski sebenarnya kita tidak pernah benar-benar memilih tapi dipilihkan. Alhasil hampir di segala lini terjadi ketimpangan karena genre lucu-lucu lebih mendominasi dan menjadikan ihwal kesedihan terdiskreditkan dari arena fenomena persoalan hidup beserta kenyataan-kenyataan yang ada.

Tapi, tunggu dulu. Senyumlah sedikit, jangan gampang mecucu. Dalam tataran puncak, orang tertawa secara paling akan sampai pada air mata yang nggelinding. Sebaliknya, kesedihan yang memuncak akan sampai pada terminal-terminal penertawaan atas kesedihan itu sendiri (selengkapnya, baca hidupmu sendiri).

 

Surakarta, 20 September 2022

/M.A.S.

Komentar