Kursi

Aku sebuah kursi. Aku mengetahui nama baruku karena orang-orang sering menyebutku demikian. Bahkan, aku memiliki kembaran yang sangat banyak, entah siapa ibu dan ayahku. Ketika aku membuka mata, tiba-tiba aku sudah berwujud lain. Biasanya aku selalu terbangun dengan alarm kicauan burung yang hinggap di rantingku. 

Aku memanggilnya Cicit. Biasanya dia berdua atau bertiga dengan burung lain yang kalau mereka datang bersamaan, aku tidak bisa membedakan mana si Cicit yang aku kenal. Tapi, setauku Cicit yang aku kenal paruh depannya agak bengkok sedikit. Mungkin karena dia pernah menabrakku waktu terbang. Aku juga tidak tahu persis. Dia tidak pernah cerita.

Sepanjang hari, riuh antara polusi suara dan desing mesin selalu memekakkan telingaku. Hampir bengkak telingaku karena aku sudah terbiasa mendengarkan suara teman-temanku bersahutan di ruang terbuka. 

Teman-temanku juga banyak sekali. Terkadang temanku datang untuk memakan daun-daunku yang lagi segar-segarnya. Aku merasa geli ketika mulut dia mengambil daun-daun itu dariku. Temanku yang lain biasanya hanya menumpang berteduh. Sepertinya mereka menyukai rambutku yang hijau dan lebat ini. 

Ada juga yang sembarangan buang air. Ihhh! Tapi, tidak apa-apa. Dia tetap temanku. Ada juga yang selalu garuk-garuk, nyakar-nyakar badanku, ada yang nempel-nempel seharian tidak mau lepas. Tapi, aku paling suka ketika si Cicit yang datang. Dia pasti selalu punya lagu baru buat dinyanyikan. Nanti, kalau sudah dinyanyikan beberapa kali, aku jadi hafal. Kita nyanyi bareng deh.

Sekarang aku tidak tahu aku ada di mana. Aku juga tidak tahu teman-temanku ada di mana. Tiba-tiba badanku yang tinggi sekarang jadi pendek. Dulu aku tidak punya kaki, sekarang aku punya kaki empat. Setiap siang banyak sekali kembaranku dibawa ke atas mobil-mobil angkut. Aku tidak tahu ke mana mereka dibawa. Aku juga belum tahu aku di sini berperan sebagai apa.

Pagi ini aku bangun karena tiba-tiba ada yang mengangkatku dan membawaku ke atas mobil. Seperti kembaran-kembaranku sebelumnya. Persis! Orang-orang itu bilang, “Angkat 50 kursi ke truk! Hari ini jadwal kirim ke Kota S.” Kursi? Ohh, apakah sekarang namaku kursi?

Sepanjang yang aku rasakan, aku hanya mendengar suara bruumm brummm dan angin yang kencang. Beberapa kali kembaran-kembaranku terhempas angin, jatuh, dan menubruk yang lain. Seingatku angin itu pernah aku rasakan ketika hujan deras dan angin puting yang merontokkan rambut-rambut kuningku. Setelah itu, baru reda ketika matahari muncul dari timur dan bernyanyi dengan lirik sinis yang terkesan seperti mengusir hujan dan angin itu. 

Kakiku yang tertanam di tanah hampir keluar dan aku hampir kehilangan keseimbangan tubuh. Untungnya, besoknya ada seekor babi yang menguburkan sesuatu di sekitar kakiku. Aku sangat berterima kasih. Akhirnya, kakiku terkubur lagi dan aku bisa menyanyi lagi bersama si Cicit setiap pagi.

Aku sampai di ruangan kosong bersama kembaran-kembaranku. Aku tidak tahu ini ruangan apa. Aku sangat asing dengan ruang sempit. Aku tidak menemukan apa-apa selain kenalan baruku, papan tulis. Dia sudah lebih dulu dibanding aku dan kembaran-kembaranku. Dia bercerita sudah tiba beberapa hari lalu dan kesepian karena sepanjang hari selalu sendiri. Kadang kala ada cicak yang bersembunyi di balik badannya, cek cek cek.  Atau nyamuk yang kehilangan tujuan, hanya berputar-putar dengan bunyinya yang bising. 

Kegiatan kami selama beberapa hari ternyata hanya diam. Aku sudah tidak bisa bertemu Cicit lagi, temanku. Entah sekarang dia memamerkan lagu barunya pada siapa. Atau mungkinkah dia mencari-cariku? Aku tidak tahu.

Aku tidak bisa menghirup udara segar lagi. Hanya si Jendela yang bisa melakukan itu. Aku ingin menjadi Jendela karena bisa melihat ke luar ruangan. Tetapi, aku kadang merasa kasihan karena dia terjebak dan tidak bisa leluasa bergerak. Dia bercerita di luar banyak orang-orang yang berjalan terburu-buru, mondar-mandir. Entah sedang apa. Dia juga bilang kalau di luar banyak orang yang keluar dari benda bergerak yang semacam dengan mobil yang membawa kami ke tempat ini. 

Jendela bercerita sambil berteriak karena dari dalam ruangan aku hanya bisa melihat tubuh bagian belakangnya, sedangkan tubuh bagian depannya ada di luar ruangan. Juga ada si Pintu yang selalu diam. Dia bilang kepalanya sangat pusing karena orang memfungsikannya sebagai jalan dan penutup jalan. Jadi, mau tidak mau sepanjang hari dia harus selalu bergerak maju mundur. Kasian. 

Aku sangat terkejut mendengar suara yang hampir mirip dengan jam yang pernah aku dengar di tempat ketika aku terbangun menjadi sebuah kursi. Bunyinya seperti ini, teng teng teng teng tengggg. Berulang-ulang, berulang-ulang. Kembaran-kembaranku pun ikut terbangun semua. 

Terdengar juga suara hentakan kaki yang ramai sekali, gruduk gruduk gruduk, srek srek srek. Lalu tiba-tiba hening. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar. Jendela tidak berkata apa-apa. Pintu juga tidak berkata apa-apa. 

Lalu, kreeeekkkkkk. Pintu terbuka. Beramai-ramai orang masuk. Dan apa yang terjadi? Aku dan kembaran-kembaranku merasa ditimpa sesuatu yang sangat berat. Ternyata orang-orang itu menimpa kami dengan tubuh-tubuhnya. Aku merasa sangat gelagapan. Aku tidak yakin aku kuat menahan beban-beban yang terlalu berat. Aku hanya terbiasa ditimpa si Cicit yang beratnya tidak sampai 10 gram itu. 

Mereka menggoyang-goyangkan tubuh mereka di tubuhku, entah kenapa. Aku merasa aneh karena ini pertama kali tubuhku ditimpa manusia dengan waktu yang lama. Aku menahan sekuat yang aku bisa. Tiba-tiba, terdengar riuh satu ruangan setelah satu orang pergi meninggalkan ruangan, aku tidak mengerti maksud yang mereka katakan, tapi bunyinya seperti ini: “Dosennya ga selese-selese ih tapi gapapa, yang penting kursinya enakeun!” dan “Untung kursinya nyaman. Duduk lama jadi ga pegeell.”

Ohhh ohhhhh, jadi, yang mereka lakukan padaku itu duduk? Ohh, tapi apa duduk itu? Duduk itu berarti mereka menimpaku? Ohhhh, tapi aku membuat mereka senang? Sama seperti si Cicit yang selalu membuat aku suka dengan lagu-lagu barunya? Ah, senangnyaaaa!


Surakarta, 30 Agustus 2022

Alhas


Komentar