Sebenar-benar Memaafkan Diri Sendiri



Ketakutan terbaru saya akhir-akhir ini yakni menghabiskan masa tua sendirian. Ya, meskipun ini bisa dianggap terlalu percaya diri akan diberi hidup yang lama. Tapi bayangan itu begitu saja melintas dan sempat membuat saya berpikir. Banyak orang yang ingin mati muda, semata karena lelah dan ingin mencukupkan “penderitaan”. Barangkali, hidup di usia senja memang jauh lebih melelahkan. Merasakan kesakitan-kepedihan, tanggungan penyesalan, sisa-sisa dendam, dan  kekesalan terhadap diri sendiri yang sukar mengingat sesuatu yang baru terjadi lima menit lalu.


Berjudul Can You Ever Forgive Me?

Lee Israel, seorang—sebut saja—penulis yang tinggal seorang diri bersama kucingnya di sebuah apartemen salah satu kota besar, menghabiskan masa—menjelang—tuanya dengan kebingungan karena kehilangan pekerjaan. Karena kucingnya sakit dan menunggak biaya sewa, ia memutuskan untuk melakukan pekerjaan—ya, sebut saja pekerjaan—menulis atau “menghias” surat-surat para sastrawan untuk kemudian dijualnya kepada para kolektor. Mulanya ia berhasil dan mendapat banyak uang darinya. Namun, jelas saja keaslian surat-surat tersebut dipertanyakan dan kecurigaan bermuara pada hukuman yang dijatuhkan padanya untuk menebus kesalahannya itu.

Ia memang dicitrakan sebagai sosok yang membenci hubungan sosial, kegiatan sosial, bahkan manusia. Kecuali dengan teman sebayanya, seorang pria gay bernama Jack, berinteraksi dengan manusia lainnya hanya ia lakukan jika itu menyangkut pekerjaan, petugas di klinik hewan, pemilik apartemen beserta ibunya, dan dengan pelayan di sebuah bar. Sisanya, ia diceritakan telah memutus hubungan dengan beberapa orang di masa lalunya, hingga ia memutuskan untuk tinggal sendiri dan menjauhi keluarga atau kerabatnya.

Ketika menghadapi masa krisis menjelang persidangan dan setelah ditinggal mati kucingnya dan juga putus pertemanan dengan Jack itulah ia sempat menemui seseorang bernama Elaine—yang juga sebagai orang yang pernah memberinya kucing itu sekira dua belas tahun sebelumnya. Seorang pecandu alkohol dan bertemperamen tinggi seperti Lee barangkali memang sulit hidup berdampingan dengan manusia lain. Elaine pun meninggalkannya saat Lee merasa dunianya runtuh karena merasa tidak sanggup lagi menghadapinya.

Persidangan telah dilaluinya. Hukuman dengan lapang diterimanya. Tidak ada siapa-siapa lagi. Namun, ia perlahan dapat menjadikan dirinya lebih baik lewat “permohonan maaf” yang ditulis sebagai memoir. Ya, ia kembali menulis, berhenti minum alkohol, melakukan pengabdian atau kegiatan sosial, dan mulai memelihara lagi kucing kecil yang lucu! Hidupnya, dapat dikatakan, nampak menjadi lebih baik. 


Berbenah

Memperbaiki hidup, barangkali, memang perlu diawali dengan memperbaiki diri sendiri. Dalam Islam, jika ingin memperbaiki diri sendiri, seseorang perlu memperbaiki salat terlebih dulu. Memperbaiki hubungan dengan Sang Pencipta. Bisa jadi ini soal kekhusyukan, atau soal frekuensi, atau juga soal mendisiplinkan diri. Hal ini cukup sering terdengar. Tapi bukan itu yang sedang saya bahas. Lee Israel bukan seorang muslim—setidaknya itu tergambar dalam film—dan film Can You Ever Forfive Me? tidak bertemakan religi—berdasarkan yang saya baca selama menonton, film tersebut dikategorikan sebagai film komedi. 

Memperbaiki hidup, bagi sebagian orang, dimulai dari diri sendiri. Saya mengatasinya dengan merapikan hal-hal di sekitar saya, seperti melakukan beberes dan bebenah, termasuk merapikan cara pikir & pandang saya terhadap sesuatu. Lee Israel juga melakukan hal demikian. Atau hampir semua orang melakukan hal yang sama ketika ingin bangkit?

Memperbaiki hidup, artinya memperbaiki pola yang selama ini sudah melekat. Bukan adaptasi yang mudah. Misal, sesederhana suasana hati yang membaik ketika berhasil merapikan sebuah ruangan. Sisanya, barangkali kita butuh sesuatu yang layak kita sambut untuk menjalani hari depan, hari besok. Dengan demikian, kita akan sedikit terlupa dengan kekacauan sembari mengurainya.

Memperbaiki hidup nampak seperti kembali menghadiahkan kehidupan kepada diri. Artinya, penerimaan dan rasa cinta. Bukankah setiap kita tentu layak untuk diterima, termasuk oleh diri sendiri?

Memperbaiki hidup, memperbaiki sesuatu yang telah lampau. Bukan berarti dapat mengubah apa yang telah terjadi. Setidaknya, menjadikannya lebih baik, dalam artian mengolahnya menjadi sesuatu yang baik: sebuah kenangan baik atau pelajaran baik. Apa yang telah lewat, termasuk kesalahan diri sendiri, mampu kita maafkan. Bukankah demikian?

Saya kira, memaafkan orang lain adalah hal yang sulit. Tapi toh, ternyata ada yang lebih sulit: memaafkan diri sendiri. Mengampuni keluguan, ego, dan ketidaktahuan-ketidakmampuan. Bukanlah perkara mudah, meskipun diri terus tumbuh dan mendapat “hikmah”, menjadi lebih bijaksana. Hal-hal memalukan atau memilukan hasil perbuatan diri sendiri akan tetap teringat dan terasa sulit dimaafkan. Menyakiti orang lain, salah satu contohnya.

Lee Israel memohon ampunan banyak orang atas kegiatannya memalsukan bukti sejarah. Tetapi, lebih dulu ia mengampuni dirinya sendiri dengan membawa dirinya pada hidup yang lebih baik, dengan pola yang baik, merawat hubungan baik, melakukan hal-hal baik. Ia kembali bertemu dengan Jack yang menjalani masa tua dengan pengobatan. Sebuah perjumpaan teman sebaya di usia senja yang sama-sama berjuang menghalau sepi. Berusaha tetap hidup. Entah menjalani, entah menghadapi.

Ya, lagi-lagi menyoal masa tua. Bukankah apa yang kita lakukan hari ini adalah apa yang akan kita peroleh pada hari esok? Akankah dengan menerima, berdamai, memaafkan, khususnya diri sendiri, hari tua dapat kita nikmati tanpa penyesalan ataupun kesedihan? Atau katakanlah, bekal merawat hal-hal baik dan hubungan baik pada hari ini, dapatkah mencegah kesepian?


Pekalongan, 7 September 2022

Hana al Biruni


Komentar