Telinga



“Ayahmu adalah pelukis. Ia pelukis hebat yang mewariskan kupingnya pada Ibu, supaya kau turut mendengar apa yang ia dengar.”


Tak terkira kalimat Ibu telah mengantarnya berjalan di muka bumi dengan tegap. Ia selalu senang mengingat ucapan ibunya. Itu membuatnya tak lagi merasa terkucil. Bagi seorang yatim, ia cukup puas dengan mengingat ayahnya sebagai seorang legenda yang masih bisa ia bagi ceritanya.


Ia mengenali lukisan ayahnya yang dipajang di balai kota. Sebuah gambaran malam berbintang yang sama sekali tidak terlihat seperti itu. Ia suka memandangnya lama-lama, lalu berkata pada setiap yang ia temui bahwa itu lukisan ayahnya. Betapa ia bangga dengan itu. Matanya akan menciut dan bibirnya akan kembang. Gigi susunya yang masih putih akan menambah kecerahan wajahnya.


Tak ada yang peduli dengan ucapannya atau lukisan di dinding itu. Respons yang paling kerap ia dapat hanya seloroh.


“Lukisan anak TK begini. Anak bayiku lebih bagus lagi gambarnya.”

“Gambar tidak jelas.”


Tapi ia tidak peduli. Ibu bilang seni tinggi hanya bisa dihargai mereka yang berwawasan tinggi. Lukisan Ayah adalah lukisan bernilai seni tinggi. Orang-orang itu tidak bisa memahaminya. Ia juga tak paham. Tapi ia cukup tahu dari Ibu kalau lukisan ayahnya sangat tinggi nilainya dan ia percaya pada Ibu. Apa pun respons mereka, toh, ia hanya ingin pamer. Buatnya, respons yang demikian adalah kedengkian. Dan itu artinya, semua ucapan Ibu benar.


Ibu juga benar soal kuping Ayah.


-Ishmah

Komentar

  1. Setelah ini, Si Ayah sedang nguping di konstelasi tetangga yang salah satu bintangnya lagi ngulet habis Supernova.

    BalasHapus

Posting Komentar