Hari ini



Ia bilang tanganku seperti tangan para priyayi setelah kuperlihatkan kulit telapak tanganku yang mengering dan mengelupas sebab terkena deterjen. Katanya, tanganku lebih mirip tangan bangsawan yang tidak cocok dengan aktivitas berat seperti mencuci manual—menggunakan tangan. Meskipun ini hanya persoalan salah deterjen, tetap saja kami tertawa karena setidaknya ada bagian dari diriku yang sudah cocok hidup bermewah-mewah tanpa perlu latihan dan simulasi.

Ia justru menceritakan pengalaman tentang jari kelingkingnya yang langsung terkilir ketika memetik bunga secara sembarangan di kebun tetangga. Padahal, terang aku sedang mengeluhkan jari—kebetulan—kelingkingku juga yang saat itu pasca-terkilir dengan kondisi yang membaik tapi tidak pulih. Aku tidak ingat persis apakah aku telah mencuri sesuatu. Hal ini malah membuatku semakin takut, barangkali ada sesuatu yang haram mengalir dalam tubuhku sehingga selalu ada saja rasa sakit.

Sepekan-dua pekan lalu, aku menambahkan rentetan doa. Banyak pinta, jelas saja.

Beberapa hari belakangan, aku menghapus setengahnya dan kuganti dengan sebaris kalimat yang semoga rapi—tidak pun tidak apa.

“Ridailah hamba untuk rida.”


Surakarta, 11 Oktober 2022

-Hana al Biruni


Komentar