Mencari Bayang-Bayang Sapardi



Untuk mengurus proses pelepasan status mahasiswanya, ia rela bolak-balik gedung fakultas dan fotokopian. Berkas terakhir memerlukan tanda tangan pembimbing akademiknya yang juga seorang kepala program studi strata-2 atau pascasarjana. Dengan tenang ia mengetuk pintu ruangan dan membukanya, lalu tanpa menunggu lama ia segera bertanya pada seorang perempuan berkacamata dengan bingkai hitam yang duduk di pojok ruangan.

“Permisi, Bu. Mau mencari Pak Sapardi, apakah ada?” serunya dengan mantap, meski beberapa detik setelahnya menyadari nama orang yang ingin ia temui.

“Oh, Pak Sawardi sedang di ruang 110,” jawab perempuan itu dengan sedikit melongok ke arah pintu karena pandangannya terhalang layar monitor yang sedang berhadapan dengannya. 

Barangkali perempuan dalam ruangan itu tidak sempat menghiraukan kesalahan ucap seseorang. Barangkali juga ia tidak membeda-bedakan Sapardi dan Sawardi. Ataukah barangkali terlalu banyak orang yang salah mengucap nama Pak Kaprodi?

“Kira-kira beliau selesai mengajar jam berapa, ya, Bu?”

“Wah, Pak Sawardi sedang bimbingan. Kurang tahu selesainya jam berapa.”

“Oh, iya. Terima kasih, Bu.”

Fakultas sepi saja. Pak Sawardi masih di ruang 110 hingga menjelang pukul 12 siang, memberitakan peristiwa akbar penganiayaan seekor anjing dengan Ali sebagai terduga pelaku. Juga melerai pertengkaran yang timbul setelahnya tentang siapa di antara Ali dan anjing yang berhak memukul, yang sepantasnya memukul, yang seharusnya menjadi subjek atau pelaku.

Sementara itu, Pak Sapardi tenang saja di tempatnya berada. Menang atas matahari tentang siapa di antara mereka yang telah menciptakan bayang-bayang.

Fakultas ini sepi saja. Bayang-bayang Sapardi memang selewatan belaka. Meremang dalam hujan pada bulan Juni dan hasrat mencintai dengan sederhana. Sisanya, terpenggal jadi kutipan-kutipan dalam tulisan ilmiah mahasiswa dari bukunya yang membahas sosiologi sastra. Kalah dengan jeritan-jeritan sumbang mahasiswa yang mencoba bersuara soal harga BBM hingga “harga” gelar pendidikan setiap tahunnya.

Surakarta, Oktober 2022

-Hana al Biruni


Komentar

Posting Komentar