Mengapa Banyak Orang Terkesan Buru-buru untuk Menikah?



Beberapa waktu lalu aku melihat video singkat yang berisi beberapa pendapat singkat tentang pernikahan dari filsuf-filsuf yang banyak dikenal masyarakat, salah satunya Nietzsche. Dia bilang, pernikahan menandakan akhir dari sekian banyak kebodohan sesat, menjadi satu kebodohan berkepanjangan. Mungkin kalimat itu memang diucapkan berdasarkan pengalaman cinta dari seorang Nietzsche. Lantas, apakah bisa disimpulkan bahwa pernikahan adalah sebuah tindakan kebodohan?

Sebuah disclaimer, karena tulisan ini ditulis oleh seseorang yang belum menikah, tentu sudut pandang dalam tulisan ini perlu koreksi dari siapa pun supaya tidak terkesan sok tahu atas sesuatu yang belum pernah dilakukan. Namun, toh belajar tidak selalu harus langsung mengalami, ‘kan? Seperti kesalahan—yang kata orang-orang—kita bisa belajar dari kesalahan orang lain tanpa kita harus melakukan kesalahan yang sama.

Menikah dilakukan oleh dua orang, laki-laki dan perempuan. Entah kenapa, stigma masyarakat soal perempuan yang harus cepat menikah sangat melekat. Kesannya, dalam pernikahan perempuanlah yang paling diburu-buru untuk menikah. Ya karena umur, ya karena kesuburan (katanya), ya karena fisik juga (katanya). Padahal, laki-laki dan perempuan itu sama saja. Laki-laki akan bertambah umur, laki-laki pun akan turun kualitas spermanya seiring bertambah usia dan tentu laki-laki juga akan menua. Kan sama-sama manusia?

Stigma masyarakat itulah yang membuat orang-orang akhirnya merasa perlu melakukan pendiktean terhadap orang lain lalu lupa jika individu-individu yang mereka dikte adalah manusia yang memiliki hak penuh atas hidupnya masing-masing. Sayangnya, tidak semua orang mampu menghadapi mulut-mulut besar itu dan berdiri di atas prinsip hidupnya sendiri. Yang terjadi selanjutnya adalah hidup dengan mengikuti alur yang sesuai idealisme masyarakat. 

Sebenarnya konsep ideal dari sebuah pernikahan itu gimana, sih? Yang pestanya digelar mewah tujuh hari tujuh malam? Dapat mantu tajir? Dapat suami ganteng atau istri cantik? Nikah muda? Yang maharnya dua eM? Atau yang bagaimana?

Menurutku, karena menikah dilakukan oleh dua orang, yang menjadi kunci adalah dua orang yang melakukan pernikahan itu sendiri; bagaimana dua orang itu saling membutuhkan untuk hidup bersama; bagaimana kesiapan mereka melakukan pernikahan itu sendiri; bagaimana dua orang itu saling telanjang dalam mengutarakan tujuan atau rencana hidup nantinya, juga soal hidup sebelumnya, serta hal lainnya yang perlu keterbukaan; dan bagaimana dua orang itu ikhlas menerima satu sama lain. (Buset, sok tahu banget gweh.)

Tentu itu semua kembali ke pribadi masing-masing individu. Beberapa orang cukup menerima karena jatuh cinta; beberapa lagi memiliki alasan yang berbeda; beberapa lainnya memandang sesuatu seadanya; dan macam-macam lainnya. Akhirnya, ideal itu sendiri tidak ditentukan dari sesuatu yang telah berhasil dan diyakini orang-orang, tetapi dimaknai atas pilihan masing-masing. 

Sebenarnya tidak usah jauh-jauh membicarakan idealisme masyarakat atau kriteria pasangan idaman di pernikahan. Kamu sendiri gimana? Siap, belum? Yakin lahir batin?

Nikah itu bukan menjalani hidup yang benar-benar baru, melainkan hidup yang sudah ada, hanya ditambah saja porsinya. Kita tidak perlu kehilangan diri kita sendiri ketika nikah nanti. Malah harus begitu. Penerimaan satu sama lain berdasarkan diri yang apa adanya, bukan yang ada apanya. 

Jadi, mungkin yang perlu dilakukan, ya, mengenali diri sendiri dulu: sebenarnya maunya kita gimana; rencana hidup kita sendiri ke depannya itu harapannya gimana; gimana cara kita mengelola emosi kita sendiri; terus ada ngga sih sesuatu yang pengin kita lakukan sekarang-sekarang atau nanti. Kita juga mesti tahu apa yang kita suka dan gak suka untuk menempatkan batasan atas sesuatu. Dan banyak cara lain yang bisa mengarahkan diri kita untuk mengenali diri sendiri. Kalau kita udah selesai dengan diri sendiri, kan lebih enak buat memahami sesuatu yang ada di luar diri kita. Iya, ‘kan?

Justru sebaliknya. Kalau kita belum selesai dengan diri sendiri, gimana cara kita bisa mengenali orang lain lebih dalam? Masalah dalam diri kita sendiri aja belum terselesaikan. Kalau udah nikah nantinya gimana? Masalah itu akhirnya terkubur dan tinggal soal waktu saja, masalah itu tiba-tiba merangkak minta dibangkitkan. 

Hidup ini memang singkat. Tapi, rasanya waktu yang singkat itu berjalan sangat cepat, tak-tek-tak-tek das-des-das-des. Waktu yang singkat itu kemudian memengaruhi siklus hidup manusia yang juga seolah harus tak-tek-tak-tek das-des-das-des. Satu selesai, dua menunggu. Dua selesai, tiga dimulai. Begitu seterusnya. Karena waktu yang sangat singkat ini, aku rasa, manusia juga akhirnya hanya punya waktu yang sangat sangat sedikit untuk mengenali dirinya sendiri. Belum lagi ada tuntutan dari orang tua, masyarakat, atau yang lainnya. Begitu singkatnya hidup manusia ini. Hidup seolah-olah telah digarisbesarkan atas takdir apa saja yang harus dijalani pada garis umur. Setelah lahir, kita tumbuh. Umur sepuluh, kita menjadi anak-anak yang siap puber di masa remaja. Umur dua puluh, ada sambutan hidup yang mengatakan selamat datang di dunia. Umur tiga puluh, fase baru dalam memerankan peran baru. Umur empat puluh, kembali memikirkan hidup. Umur lima puluh, siap menerima hidup. Dan sampai batas masing-masing umur manusia. 

Tapi, tentu, kita yang paling berhak atas pilihan dalam hidup kita sendiri. Kamu ngga apa-apa kok ngga nikah muda. Kamu juga ngga apa-apa kok lulus nggak tepat waktu. Kamu juga ngga apa-apa kalau belum dapet kerja. Ngga apa-apa juga kalua belum punya pacar. Ngga apa-apa juga dong kalau belum punya banyak tabungan. Ngga apa-apa! Mulut orang-orang itu ngga usah didengerin. Emang kata siapa kamu harus nikah di umur dua puluhan? Kata siapa umur tiga puluh kamu harus punya anak? Kata siapa kalo nikahan harus resepsi besar-besaran? Kata siapa umur segitu harus itu, umur segini harus ini? Ngga ada!

Lha wong sendiri aja masih banyak masalah, kok mau ngajak orang lain bikin masalah. Nambah-nambahi beban pikiran saja!


Surakarta, 18-19 Oktober 2022

Alhas


Komentar