Mengapa Kita Gemar Mengutuk


Beberapa waktu lalu, tersiar kabar seseorang laki-laki gantung diri di sebuah peternakan ayam. Fotonya dengan cepat meluas. Orang-orang berlomba jadi pakar yang melakukan analisis sebab-akibat. Kenapa ia gantung diri dibicarakan dengan beragam dugaan, dari ekonomi sampai keimanan. Kronologinya dibicarakan dari penderitaan dunia kepada siksa kubur. Gunjingan berdengung seperti tawon.


Tidak ada yang tahu pasti penyebab ia bunuh diri. Barangkali inilah yang kemudian menggelitik orang-orang untuk mencari tahu. Gagal dengan fakta valid, lahirlah bermacam-macam dugaan yang dikawal dengan sikap menghakimi.


Di antara banyak omongan, telinga saya mencatat satu yang paling ganjil dan ganjal: mengapa ia bunuh diri, padahal ia laki-laki. Percakapan bergaya seksis berlanjut dengan nada cemooh. Si laki-laki dicap lemah, tidak beriman, pengecut, dan cap-cap negatif lainnya. 


Terlepas bagaimana Islam menetapkan hukum bunuh diri, kematian adalah momen empatik. Jadi, pertama-tama, adalah wujud kemanusiaan dengan menghormati kematiannya.


Meminjam kata-kata Camus, mati sukarela menyiratkan ketiadaan alasan untuk hidup. Di lembar lain, Camus juga menulis adanya cinta kepada kehidupan menyiratkan adanya sesuatu yang lebih besar ketimbang penderitaan. Artinya, seseorang memutuskan mati secara sukarela sebab ada penderitaan sekaligus tiada yang dirasa lebih besar dari penderitaan itu yang dapat merawatnya tetap hidup.


Tidak ada laki-laki dan perempuan dalam urusan penderitaan. Sama halnya tidak ada yang peduli terhadap si laki-laki dan kesulitan hidupnya.


Gosip kian merebak sebab ia laki-laki. Saya kembali teringat betapa masyarakat patriarkis kita tidak hanya merugikan perempuan. Laki-laki turut dituntut dengan berbagai standar maskulinitas yang pelik. Tidak macho jika menangis. Harus tampak gagah dan selalu bergerak di posisi depan. Kuat dan tangguh adalah citra yang “semestinya” ada pada diri laki-laki. 


Begitulah kemudian peristiwa bunuh dirinya seorang laki-laki dibicarakan seperti aib. Kematiannya dinilai sebagai simbol kegagalan dan kepecundangan. Tapi, bukankah pilihan mencabut nyawa sendiri membutuhkan keberanian yang gigantis? Pun, tiada pembenaran juga jika kasus yang sama terjadi pada perempuan.


Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha Penyanyang kepadamu.” (An-Nisa’: 29)


Tuhan merayu, tidak mengutuk.


-Ishmah


Komentar