Mingun dan Ibunya



Ngun, untuk kesekian kali, Ibu minta jangan berhenti. Kalaupun itu terpaksa, sebentar saja, dalam koridor istirahat, dalam ranah mengambil jeda. Hidup harus terus menyala, seperti dian, seperti lampu, hidup harus terus melaju. Bergerak, Ngun, jangan berhenti. Bekerjalah!

Suara Ibu di desa seperti menguap, mengudara, memasuki telinga Mingun di kota. Suara yang gaib, menyelinap. Suara yang untuk kesekian kalinya memberi daya pada hidup yang tengah menimang keputusasaan. Seperti bayi merengek minta mainan. Mingun meminta hidup gemilang yang dijauhkan dari penderitaan berbagai ukuran.

Bangun, Ngun. Hidup bukan hanya untuk meratapi nasib. Hidup adalah bagaimana kamu mampu menerima segala hal. Jadilah ruang yang rida, Ngun. Ruang yang mampu menampung bahagia sekaligus penderitaan. Bangun dan bergeraklah! Bekerjalah, Ngun!

Suara Ibu kembali terdengar. Suara Mingun belum satu huruf pun keluar. Mingun diam. Diam-diam mendengar suara Ibu seperti hujan.

Hujan mengantarkan Mingun pada masa silam. Ia dan beberapa kawan yang serentak telanjang tanpa berpikir panjang. Bermain hujan. Kata demam di dalam kamus mereka hapus karena tidak sesuai dengan hujan-hujanan yang belum terdaftar, sebagai salah satu jenis kegiatan dalam bocah dolanan yang difestivalkan.

Hujan reda. Mingun kembali kepada dewasa. Dewasa mencatat beberapa kata, seperti: takut; omong kosong; sibuk; terlambat; khawatir; dan segala yang hadir—maaf, tidak menyebutkannya satu per satu. Kembali pada Ibu.

Ngun, sudah makan atau belum?


Surakarta, 04 Oktober 2022

/M.A.S.


Komentar