Tragedi


“Bu, kenapa Ani ngga boleh keluar rumah, Bu? Ani juga kenapa ngga sekolah lagi? Ani kan mau main sama Tuti, sama Nini. Kenapa sih, Bu? Memang benar ya kata orang-orang, Bu, kalau keluarga kita itu agamanya sesat?”

Hussh, enggak, enggak. Kamu ga usah mikir aneh-aneh.”

“Tapi, Bu, kenapa Ani ga boleh main?”

“Nanti yaa, Ani. Nanti saja.”

“Kapan, Buuuuu?”


---


“Gimana, Bu? Pak Kursim masih belum ada kabar.”

“Ditunggu saja ya, Pak. Sementara kita di rumah dulu, jangan keluar. Kita nggak tahu gimana keadaannya kalau kita lari keluar.”

“Pak Kursim janji mengabari selepas asar tapi sudah lewat lama, belum juga berkabar. Kita ndak tahu nasib kita bakal gimana, juga orang-orang lain yang sama dengan kita di tempat lain.”

“Mungkin keadaan di luar sana memang masih kacau, Pak. Pak Kursim juga harus hati-hati buat sampai rumah kita. Sabar dulu. Yang tenang, Pak.”


---


“Nasib kita gimana ya, Mak? Bapak juga ga bisa berbuat apa-apa. Kalau salah kata sedikit saja, bisa mencelakai Pak Turi. Tapi kalau Bapak ndak bilang apa-apa ke warga lain, nanti kita ikut keseret-seret.”

“Sudah, kita diam aja di sini dulu. Lihat kondisi nanti bagaimana.”

“Tapi, setidaknya kita harus tahu mesti berpihak ke siapa, Mak.”

“Ini bukan soal condong ke sana atau situ, Pak. Kita ndak bisa condong ke keluarga Pak Turi atau condong ke warga-warga yang protes itu. Pak Turi itu orang baik, Pak, meski Islamnya beda sama kita. Kita tetep sama-sama Islam dan ga bisa memaksakan pilihan orang lain. Warga-warga itu juga sebenarnya khawatir timbul yang enggak-enggak gara-gara pilihan Islamnya beda, Pak.”

“Tapi warga-warga itu juga ada betulnya, Bu. Ya masa ada Nabi lagi? Kan Muhammad yang terakhir. Itu kemarin Bapak kedengeran sampe sini ceramahnya Ustaz Yuyu.”

“Terus Bapak maunya gimana?”

“Bukan maunya gimana, Bu. Bapak juga kan bingung, makanya Bapak cerita. Biar kita berdua bisa dapet solusi sama-sama.”

“Lhaaaa... tadi Ibu udah bilang tunggu saja. Tunggu reda dulu, ndak usah kesusu. Pak Turi juga pasti punya rencana.”

“Lhoo, Ibu pilih condong ke Pak Turi ini?”

Issssh, Bapak ki. Ndak gitu. Denger ya, kita ini sekarang kerja sama Pak Turi. Kita tinggal di rumah Pak Turi. Jadiiiiii, kita mesti denger dulu rencana Pak Turi. Kalau udah tahu rencananya baru kita bisa mutusin. Ngono, Paaaaak.”

Hussshhh, ojo seru-seru.”

Laaaa, makane ojo gawe emosi.


---


“Bu, beneran Ani ngga boleh main? Sebentar ajaa, Buu.”

“Ngga, Ani. Besok aja, ya. Besok temen Ani lebih banyak. Inget ngga, Susi, anaknya Bu Jiga yang minggu kemarin ketemu di pengajian?”

“Ingeet. Ani kemarin main lompat tali sama Susi.”

“Iyaa, besok Ani ketemu Susi. Mainnya sama Susi aja, sama temen-temen lain juga yang nanti ada di rumah Pak Kursim. Okee?”

“Tapi Ani mau main sekarang.”

“Besok aja yaaa, Ani.”

“...”

“...”

“...”

“Bu, temen-temen Ani di sekolah bilang kalau Bapak, Ibu, sama Ani Islamnya sesat.”

“Enggak, Ani.”

“Tapi, kenapa mereka bilang begitu, Bu?”

“Karena mereka nggak paham, Ani.”

“...”

“...”

“...”

“Tapi, kenapa nilai pelajaran agama Ani ga pernah bagus, Bu? Ani bener kok jawabnya. Nih, coba Ibu lihat.”

“Ani….”


---


”Jamaah lain sudah banyak yang berkumpul di cabang Carang, Pak?”

“Sudah, Pak. Beberapa sudah dijemput oleh jamaah lain. Sekarang semua jamaah berkumpul di situ sampai semuanya mereda. Insyaallah tempat itu aman.”

“Syukurlah, Pak.”

“Pak Turi, Ibu, dan Ani nanti saya antarkan sampai cabang. Biar aman mungkin berangkatnya agak maleman, Pak.”


---


“Pak Kasim, sebelumnya saya ucapkan banyak terima kasih. Sudah sangat lama, lima belas tahun mau bekerja dengan saya. Saya juga maaf kalau saya ada salah dan mungkin membuat hati Pak Kasim sakit. Juga Ibu. Maaf, ya. Maaf juga atas kegaduhan yang sedang terjadi. Saya juga tidak bisa apa-apa. Malam ini saya akan pergi diam-diam dari kampung ini, dari kota ini. Dan Pak Kasim, saya pikir Pak Kasim bisa di sini saja. Bapak aman di sini kalau saya sudah pergi. Ibu juga. Tapi, kalau-kalau nanti sekitar satu, dua, atau tiga bulan saya belum kembali ke sini atau tidak ada kabar lagi, rumah dan usaha ini saya serahkan ikhlas untuk Pak Kasim. Silakan, Pak, dikelola dengan baik. Saya percaya Pak Kasim bisa. Saya percaya penuh sama Pak Kasim.”

“Pak....”

“Ya Allah, Bapak....”

“Tidak apa-apa, Pak, Bu. Insyaallah kami akan baik-baik saja. Doakan saja.”

“...”

“...”

“Titip ya, Pak Kasim. Saya sekali lagi minta maaf.”


---


“Siap, Pak, Bu?”

“Sudah.”

“Kita berangkat, ya.”

Bismillah….”


---


“DI MANA PAK TURI? KELUARRRR! KELUARRR!”

“KELUARR!! KELUARR!! KELUARR!!”

“IYAAA! KELUARRR!!”

“...”

“DI MANA PAK TURI, PAK KASIM? TIDAK USAH DISEMBUNYI-SEMBUNYIKAN!”

“...”

“ORANG SESAT KITA USIR SAJA DARI KAMPUNG INI. BIKIN SIAL KAMPUNG SAJA!”

“BETULLL! BETULL!”

“USIIRRRR!!!”

“USIR! USIR!”

“...”

“PAK KASIM, UDAH GA USAH LAGI DISEMBUNYI-SEMBUNYIKAN, SURUH MAJIKANMU ITU KELUAR DAN PERGI DARI KAMPUNG SINI!”

“...”

“...”

“Bapak-bapak, Ibu-ibu, Pak Turi dan keluarga sudah pergi. Tidak lagi di sini. Saya bangun-bangun rumah juga sudah kosong. Saya tidak tahu ke mana mereka pergi.”

WOOOOO! BOHONGGG!”

“BOHOONGGGG!”

“...”

“BENER, BAPAK, IBU. SAYA TIDAK BERBOHONG. SILAKAN PERGI, SILAKAN BUBAR. ORANG YANG KALIAN CARI SUDAH PERGI.”

Wooooooooooooo..........!!”


---


“Bapak bohong?”

“Kita boleh beda, Bu. Tapi, kita ini masih sama-sama manusia. Kan Ibu yang bilang, ngga boleh condong sana-sini.”


---


“Bu, masih lama ya sampainya? Ani nanti mau ketemu Susi kan, Bu?”

“Iyaa, Ani. Sabar, yaa.”

“Ani besok sekolah ngga, Bu? Ani mau sekolah ketemu temen-temen lagi.”

“...”

“...”

“...”

“Kok Ibu nangis?”


Surakarta, 11 Oktober 2022

Alhas


Komentar