Kios Jekikom

 



Seperti biasa, setiap pagi Pak Jeki dan Bu Kokom sudah berangkat ke Pasar Klewer. Meskipun secara operasional kios-kios di Pasar Klewer buka pukul 9, pasangan suami-istri itu selalu datang lebih awal dari pedagang-pedagang lain. Mereka pikir, dengan datang lebih pagi, hidup mereka menjadi lebih bernyawa. Mereka juga percaya dengan datang lebih awal dan melakukan rutinitas itu dengan disiplin, pintu-pintu rezeki akan dibuka bersamaan dengan keberkahan-keberkahan lainnya.

Gasik, Pak!” sapa tukang becak di depan Pasar Klewer Timur.

Nggih niki. Monggo... ndherekake,” jawab Pak Jeki.

---

Beberapa pedagang di Pasar Klewer dibagi menjadi beberapa kelompok. Pertama, pedagang partai besar atau yang biasa menjual barang-barang grosir. Mereka biasanya enggan menjual barang-barangnya dalam bentuk eceran sebab hanya menjual barang dalam bentuk borongan. Kemudian, pedagang partai kecil yang merupakan sirkulasi terakhir penjualan barang karena mereka menjualkan barang langsung kepada konsumen. Mereka juga dikenal dengan pedagang barang eceran.

Kios Pak Jeki dan Bu Kokom ada di lantai satu pasar timur. Lebih tepatnya ada di ujung bagian paling barat dekat jembatan yang menghubungkan antara gedung pasar timur dan lantai dua gedung pasar barat. Mereka menjual pakaian seperti baju-baju konveksi dan sablon, juga macam-macam celana. Pak Jeki dan Bu Kokom adalah salah satu pedangang partai kecil di Pasar Klewer. Jadi, mereka menjual barang dagangnya secara ecer. Karena mengandalkan konsumen yang datang, pendapatan mereka dalam satu hari tidak menentu. Terkadang cukup, tetapi terkadang juga tidak menghasilkan sama sekali. 

Hari ini adalah hari Senin, hari ketika Pasar Klewer menjadi gerbang besar bagi para pedagang dari luar Solo, baik dari Pekalongan, Yogyakarta, Semarang, Surabaya maupun kota-kota lainnya. Selain menjadi tempat kulakan bagi pedagang yang datang, para pelancong itu ada pula yang berperan sebagai agen besar dan bertugas memasok barang produksi ke pedagang-pedagang partai besar. Saking ramainya, setiap hari Senin dan Kamis, parkiran selalu membludak sampai memenuhi halaman alun-alun lor yang berada di timur laut Pasar Klewer.

Hari yang besar itu ternyata tidak turut mencipratkan keringat pada Pak Jeki dan Bu Kokom. Kios mereka tetap sepi. Hanya ada beberapa konsumen datang bertanya dan melihat-lihat saja. 

Pak Jeki duduk di depan kiosnya, melihat ke arah timur, ke kios tengah yang ramai pengunjung. Rasanya dulu Pak Jeki pernah mengalami hal yang sama, merasakan setiap hari kios selalu ramai. Bahkan, tidak jarang hari-hari di kios Pak Jeki selalu hari Senin dan Kamis alias selalu ramai apa pun harinya. Kini hal itu tinggal kenang karena peristiwa pada tahun 2000 waktu itu.

Ngapa kok nglamun, Pak?” tanya Bu Kokom sambil menepuk bahu Pak Jeki.

Eh... sapa sing nglamun?

La sampeyan, Pak.

Ora kok. La wong lagi nyawang iki, kii… klambi iki.

Alah, ngapusi.

Yawis, kandani ra percaya.

---

Siang hari telah terlewat. Pedagang dan pembeli telah usai menjemput peristiwa pada hari itu. Becak, bemor, angkot, dan bus sudah kembali ke tuannya. Pasar Klewer mulai menutup rolling door-nya untuk menyambut semesta menggelar tirai hitam di langitnya. 

Pak Jeki dan Bu Kokom pulang dengan lapang, melangkahkan kaki menuju rumah mereka yang tak jauh dari Klewer. Dari Klewer, mereka berbelok kanan menuju jalan supit urang. Mereka berlawanan arah dengan kendaraan yang lalu lalang. Lalu, di petigaan keraton, mereka menyeberang dan memasuki pintu gapit lor Keraton Solo. Mereka langsung berbelok ke kiri menuju jalan Kamandungan, lalu terus menyusuri jalan Sindikoro sampai bertemu Kantor Kelurahan Baluwarti. 50 meter dari kantor kelurahan ke arah selatan ada pertigaan, ke arah timur menuju jalan Carangan dan ke arah barat menuju jalan Lumbung Wetan. Di jalan Carangan itulah rumah Pak Jeki dan Bu Kokom berdiri. 

Mereka baru saja sampai rumah. Bu Kokom sudah merebahkan badan di lantai. Hal itu sudah menjadi kebiasaan sepulang dagang. Pak Jeki duduk di kursi depan dekat pintu. Tangannya sudah siap menyalakan korek, sebelum akhirnya....

“Aku tak ning wedangan Pak Cipto sik, Bu.” 

Yohhh, Pak, aja suwe-suwe.”

---

Wedangan Pak Cipto ada di persimpangan jalan Sindikoro, Carangan, dan Lumbung Wetan, persis di tepi jalan. Sore itu di wedangan hanya ada Pak Cipto, istrinya, dan satu pelanggan.

“Nyore, Pak.” Pak Cipto menyambut Pak Jeki.

Nggih. Teh kampul panas siji, Pak.”

“Siap!”

Tidak ada satu menit, teh kampul sudah siap. Tangan Pak Jeki sudah memegang gagang gelas dan siap mengantarkan bulir-bulir teh panas yang telah tercampur sari-sari jeruk ke mulut. Sruput, sruput. Glek, glek. Rasa manis-manis kecut panas telah menggelosor di kerongkongan Pak Jeki.

“Nyore juga, Mas?” sapa Pak Jeki pada pelanggan di sebelahnya.

“Iya, Pak. Mampir.”

“Lah, dari mana ini atau mau ke mana?”

“Dari wawancara kerja, Pak. Ya mau pulang, tapi mampir dulu.”

“Wawancara di mana, Mas?”

        “Itu di dekat Kustati, Pak.”

        “Ohhh, ya. Terus rumah di mana?”

        “Deket sini aja, Pak. Kauman.”

        “Oalaah, pemuda Kauman!”

---

         “Piye, Pak? Klewer rame napa mboten?” tanya Pak Cipto memotong adegan percakapan

antara Pak Jeki dan pemuda itu.

        “Wah, ya seperti biasa. Sepi. Tapi, nggur ning kiosku, hahahaha.”

        Walah, walaahhahahahaa.”

        “Wah, payah ki.

        Rapapa nu, Pak. Jenenge dodolan. Kadang rame, kadang sepi. Nggih sami, kula nggih ngrasakake.”

        Nggih, leres, Pak.”

---

        Njenengan dagang teng Klewer, Pak?” tanya pemuda itu.

        Nggih, Mas.”

        “Wah, saya juga sekarang masih kerja di Klewer, Pak. Kiose njenengan namine napa, Pak?”

        “Jekikom, Mas.”

        “Jeki... kom?”

        “Iya, Mas.”

Pemuda itu lama terdiam sembari nyruput-nyruput es tehnya. Seperti sedang mengingat-ngingat sesuatu yang terlupa di pikirannya. Tiba-tiba...

“Oalaah, Pak. Jaman kula cilik, berarti sekitar tahun 90-an akhir sampe 2000-an, kula niku sering dolan teng Klewer, tumbas jajan, mlaku-mlaku. Mesti mboten pernah kelewat, kulo maem jajane teng ngajeng kios Jekikom. Mergane paling guede terus katah jagongane. La pas niku kula nggih pertama nonton HP. Canggih tenan, pikir kula pas cilik niku nonton wong omong-omongan tapi mboten ketemu. Makane kula dadi kelingan sanget kalih Jekikom. Tapi, pas kula mboten teng Klewer gara-gara preinan teng griya simbah kula teng Gunung Kidul, Jekikom pun mboten buka malih. Niku Jekikom sing sami kalih gadhahe njenengan seniki ta, Pak?”

“Wah, Mas, kok dielingke, hahahaha. Iya, bener.”

Ndek mben ki Pak Jeki pernah bangkrut, Mas. Ya pa ra, Pak? Ya pa oraaa? Hahaha,” ledek Pak Cipto.

Hahahaha, asu o kowe.”

    “Kok bisa bangkrut pripun niku critane, Pak?” tanya pemuda itu.

“Dulu pas Jekikom lagi jaya-jayanya, saya sama Bu Kokom itu, istri saya, ngga sempet nabung. Jadi, ga punya cadangan uang lain. Ndilalah, waktu itu ada sodara jauh dateng. Itu belum pernah ketemu sama sekali sebelumnya. Saya terima kedatangannya. Ternyata dia kerja jadi agen konveksi besar dari Sumedang. Saya juga waktu itu baru tahu. Dia akhirnya nawarin kerja sama, mau ngga kalau barang produksi di Jekikom dipasok dari dia. Saya mikir-mikir agak lama itu soalnya kan udah punya agen pemasok sendiri. Berapa hari ke depan dia dateng lagi, nawarin lagi. Dia nurunin harga barang sedikit dibanding dari agen-agen lain. Akhirnya, hari itu juga saya percaya dan mau dipasok sama dia. Setelah omong-omongan, kami setuju kontrak kerja sama sebulan dulu. Saya janji transfer setelah dia pulang. Dia juga janji setelah sampai Sumedang dia langsung kirim barang kalo uang udah ditransfer,” Pak Jeki berhenti bercerita sebentar sambil meminum teh kampul-nya.

“Terus pripun, Pak? Pak-e transfer?” tanya pemuda itu.

“Iyaa no, aku transfer langsung, hampir habis tabunganku waktu itu karena hampir tak transfer semua. Pokoknya tinggal dikiiiit pooll. Bu Kokom juga ya sama-sama yakin. Yakin bakal laris besar, soalnya barang baru. Rezeki emang ngga ada yang tahu, ya. Malemnya masih telfonan, kabar-kabaran, katanya barangnya lagi disiapin buat pengantaran besok pagi. Tidur masih nyenyak banget itu. Nah, baru besok paginya, saya telfon lagi nomer HP-nya, berkali-kali ngga nyambung. Saya coba telfon lagi berkali-kali, ngga ada jawaban. Tahu kan waktu itu pulsa masih mahal banget, apalagi belum banyak yang punya HP. Bu Kokom udah nangis-nangis, saya juga bingung ngga ada pegangan uang lagi. Belum lagi waktu itu tanggal-tanggal mendekati pembayaran sewa kios. Detik itu juga saya yakin kalo saya ditipu!”

“Oalaah, Pak...” jawab anak muda pelan sekali.

“Bu Kokom akhirnya ngajak saya ke Sumedang. Nagih janji. Kalau nggak bisa kirim barang, Bu Kokom bakal nagih uangnya dibalikin. Anak-anak juga diajak ikut ke Sumedang, karena ngga tahu mau dititipkan ke siapa. Besok subuhnya kami berangkat naik bis langsung ke Sumedang. Sampai sana agak sore. Untungnya rumahnya nggak terlalu jauh dari terminal, jadi bisa jalan kaki. Nggak terlalu mengeluarkan ongkos banyak. Di depan rumahnya, kami salam, nggak ada jawaban. Padahal, lampu di dalam rumah itu nyala hlo, Mas. Kami panggil-panggilin juga nggak dijawab. Kami tunggu sampai malam. Ngemper, Mas, depan rumah dia. Bayangin, apalagi sama anak-anak. Saya sebenarnya nggak tega ngajak anak-anak, tapi ya gimana lagi, Mas.”

“Ya Allah, kok isa tega men wong, Pak,” Pak Cipto ikut menanggapi cerita Pak Jeki sembari mengaduk adonan untuk tempe goreng.

Nggih, beda-beda, Pak. Padahal, sak wengi niku kulo ngemper mboten dibukake pintu blas, Pak.”

Atos tenan atine nipu wong.

La trus njenengan wangsul napa pripun, Pak?” Tanya si pemuda itu lagi.

“Pas jam-jam hampir subuh, Bu Kokom ngomong ke saya, ‘Wis, ayo mulih wae, Pak. Sia-sia adewe rene-rene.’ Saya setuju. Kami ke sana ngga dapet apa-apa, malah tambah sakit hati. Tapi sekarang udah nggak apa-apa, udah ikhlas.

“Hari itu persis tanggal 16 Agustus, soalnya anak mbarep udah ngingetin berkali-kali kalau nanti malem dia harus ikut nari di malem 17-an sama temen-temennya. Bu Kokom juga kasihan sama si mbarep kalo nggak jadi ikut nari. Padahal, kemarin-kemarin rajin latihan sama temen-temennya. Kami itu udah pasrah nggak tahu harus pulang pakai apa, uang dari mana, dan gimana. Uang nggak cukup buat ongkos pulang. Akhirnya, setelah berunding, saya sama Bu Kokom mutusin buat jual jam tangan. Itu juga kejual muraaaaah banget, tapi cukup buat pulang. Sampai Solo magrib, ngepas si mbarep bisa dateng nari di acara malem 17-an kampung. Besoknya toko buka satu hari buat ngabisin stok, terus tutup.”

“La si Sumedang sampe sakniki sampun mbayar utang dereng, Pak?”

Blas, Mas. Udah tak ikhlasin aja, udah nggak ngarep apa-apa lagi. Sekarang juga hidup udah biasa-biasa aja. Dulu aku sampai jual rumah biar anak-anak bisa sekolah, bisa kuliah. Rumahku tuh, itu cuma sepetak doang sekarang. Padahal, jaman dulu aku termasuknya orang yang punya, Mas. HP aja dulu orang belum banyak punya, aku udah punya. Itu motor juga belum banyak yang punya, aku udah punya. Tapi, nggak apa-apa. Wong ya namanya hidup, ya, Pak Cipto, ya. Ndi, tempene wis mateng durung?”

Leres, Pak. Hidup itu dijalani saja apa pun yang terjadi. Kiii, tempene. Mumpung isih panas.

Nggih, bener, Pak. Urip dijalani mawon, tapi nek mboten gadhah arta nggih mumet, kaya kula niki, hehehe.”

“Lhaaa, ora nggur kowe tok sing era duwe duwit, Le. Aku ya ho’oh.

“Aku ya ho’oh. Meluan, Pak Jeki! Hahahahah...”

HAHAHAHAHAHAHA….” Mereka bertiga tertawa.

---

ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR... ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR….” Tiba-tiba terdengar suara azan, menandakan masuk waktu salat magrib. 

---

Wis, azan, azan, tak mulih sik wae, Cip. Itungan-itungan sik.” 

“Siap, Pak. Apa wae?”

“Teh kampul siji, tempene papat. Sekalian bungkus tempe lima.”

“Teh kampul telung ewu mangatus, tempene... sanga ya. Sangang ewu. Berarti dua belas lima ratus juta!”

“Wah, aku ora duwe nek semono,” jawab Pak Jeki sambil memberikan uang 15 ribu.

“Lhaa iki duwe, hahaha…. Ki susuk-e, Pak. Nuwun.”

“Duluan ya, anak muda. Semangat kerjane! Ya ora, Cip? Hahaha.” 

“Yoiii, Pak! Hahahah.”

“SEMANGAT GOLEK DUWIT! HAHAHA,” teriak Pak Jeki dan Pak Cipto bersamaan.


Surakarta, 8—10 November 2022

Alhas 


Komentar