KAMPUNG PINGGIR KALI



Di depan rumah Pak Cipto, petugas telah melepas baju pelindung lem stiker dan siap menempelkan stiker itu di jendela rumah. Hesti yang kala itu masih kecil dan belum bisa membaca, tidak tahu stiker apa yang ditempelkan di jendela rumahnya. Dia pun tak mengerti mengapa petugas-petugas itu menempelkan stiker-stiker di rumah orang-orang. Yang ia tahu soal stiker hanya stiker kartun yang bisa dibeli di tukang mainan keliling. Hesti bahkan sering membeli dan sekarang pintu lemarinya sudah penuh tumpukan-tumpukan stiker. Ketika melihat petugas penempel stiker di depan rumahnya, ia berpikir, pekerjaan petugas-petugas itu sangat menyenangkan. Ia membayangkan bisa menempel stiker di mana pun selain di pintu lemarinya!

Petugas satu persatu pergi meninggalkan daerah kampung di pinggir-pinggir sungai. Satu persatu tetangga Hesti mulai mendatangi pelataran rumah tetangganya, berkumpul dan berbisik-bisik. Hesti tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan orang-orang. Ia hanya kerap melihat wajah ibu-ibu yang mendadak terlihat banyak cemas, dahi bapak-bapak yang sering dikerutkan, dan simbah-simbah yang sering termenung di depan rumahnya. Begitu pun bapak dan ibunya. Biasanya mereka selalu mengajak Hesti mengobrol, tapi sejak petugas-petugas stiker itu datang, mereka menjadi lebih banyak diam.

---

Pak Cipto atau ayah Hesti adalah seorang guru SMP Pahonje di desa Pahonje. Ibunya juga seorang guru, tetapi di sekolah yang berbeda, yaitu SMA Pahonje. Kedua orang tua Hesti sangat dihormati oleh orang-orang di desa. Bukan hanya karena mereka seorang guru, tetapi mereka juga seseorang yang sangat dekat dan sering membantu orang-orang di desa Pahonje. Kadang kala mereka pun sering terlibat dalam pergerakan-pergerakan yang terjadi di desa. Tidak hanya di desa Pahonje, tetapi mereka pun sering terlibat di desa-desa lain, seperti Cigabok, Cawis, dan Daye. Karena itulah, sepasang suami istri itu menjadi dikenal oleh banyak orang.

Suatu sore, ketika sedang bermain dengan temannya di sekitar rumah, Hesti melihat ayahnya pulang membawa muka yang lesu. Ia menyapa, “Bapaaaak!"

“Hestii...” jawabnya pelan sekali.

“Bapak baru pulang dari sekolah? Cape ya, Pak?” tanya Hesti.

“Iyaa. Ngobrolnya nanti lagi ya, Hesti main lagi sama Ida gih, ditungguin tuh,” jawab Pak Cipto.

“Hmm.. Oke deh,” balas Hesti dengan nada kecewa.

Terhitung hari itu adalah hari ke delapan Pak Cipto selalu pulang dengan muka yang kusut. Hesti tidak pernah menyerah untuk mencari tahu penyebab ayahnya menjadi murung dan tidak mau lagi mengajaknya bicara seperti yang sudah-sudah. Rasanya Hesti kangen sekali ngobrol lama dengan Ayahnya. Begitu juga dengan ibunya.

---

TONG TONG TONG!!! TONG! TONG! TONG TONG TONG!!! TONG TONG TONG!!! TONG! TONG! TONG TONG TONG!!! TONG TONG TONG!!! TONG! TONG! TONG TONG TONG!!! TONG TONG TONG!!! TONG! TONG! TONG TONG TONG!!!

Bunyi kentongan yang berulang-ulang memecah hening malam. Penduduk desa terkejut, satu persatu dari mereka mulai ke luar rumah untuk mencari tahu dan memastikan apa yang sedang terjadi. Tidak lama setelah kentongan ramai yang bersaut-saut itu berhenti, terdengar suara dari pengeras suara musala, “BAPAK-BAPAK, IBU-IBU SEMUA WARGA DESA PAHONJE TIDAK TERKECUALI KAMPUNG PINGGIR KALI. MULAI HARI INI, SETIAP PUKUL 7 MALAM AKAN DIBERLAKUKAN JAM MALAM. BAGI SIAPA PUN YANG NEKAT KE LUAR RUMAH AKAN ADA AKIBATNYA. SAYA ULANGI! MULAI HARI INI, SETIAP PUKUL 7 MALAM AKAN DIBERLAKUKAN JAM MALAM. BAGI SIAPA PUN YANG NEKAT KE LUAR RUMAH AKAN ADA AKIBATNYA. TERIMA KASIH.”

Kocar-kacir mendadak semua warga berlarian menuju rumahnya masing-masing. Semua jendela dan pintu ditutup rapat-rapat. Tidak ada lagi tanda-tanda sendal atau barang apa pun berada di luar rumah. Lampu dipadamkan. Drak Druk Drak Druk! Bunyi sepatu pantofel bersaut-saut menyibak malam yang mencekam.

---

Pagi hari sebelum Pak Cipto berangkat mengajar, ia berpesan pada Hesti, “Hesti, dengarkan Bapak. Hari ini, Hesti jangan main apa pun di luar rumah. Hari ini Hesti juga ngga boleh main sama Ida. Hesti di rumah aja. Denger Hesti?”

“Kenapa ngga boleh, Pak? Kan Hesti mau main masak-masakan sama Ida. Kan cuma di depan rumah,” jawab Hesti sedih.

“Pokoknya Hesti jangan main dulu di luar rumah sampai Bapak kasih izin Hesti main lagi. Ngerti Hesti?” balas bapaknya tegas.

“TAPI KENAPA NGGA BOLEH? HESTI AJA DI RUMAH SELALU SENDIRI, BAPAK IBU PERGI SEKOLAH SAMPAI SORE. HESTI MAU MAIN SAMA SIAPA KALAU BUKAN SAMA IDA, PAAAKK!” jawab Hesti yang tiba-tiba jadi menangis kencang.

”KALAU BAPAK BILANG JANGAN YA JANGAN! HESTI DENGER APA NGGA? BESOK-BESOK JUGA KAN BISA MAIN LAGI!” tiba-tiba juga Bapak jadi membentak Hesti.

“Udah, Pak...” Ibu Hesti menenangkan Bapak Hesti.

“Hesti, Hesti hari ini di rumah aja ya, dengerin kata Bapak. Nanti kalau ibu pulang, Hesti bisa main sama ibu di rumah, yah?”

“Iyaaa, bu... huaa... huaaa...” jawab Hesti masih menangis.

 

ABANG! ABANG! ABAAAAAAANGGGGG!” terdengar suara bapak-bapak teriak-teriak di luar rumah.

Pak Cipto, istrinya dan Hesti terkejut. Mereka lantas keluar rumah bersama. Setelah berdiri di pelataran, ternyata di luar sudah banyak warga yang sedang menenang-nenangkan sekaligus menunggu jawaban dari bapak-bapak yang masih tergeletak lemas di bawah pohon mangga setelah insiden teriak-teriak beberapa menit lalu.

Dari kejauhan terlihat lagi bapak-bapak berlarian menuju kerumunan dengan berteriak, “SIKIL! SIKIL! SIKIIIIILLLLL! ANA SIKIIILLLL!!!!

Warga-warga yang berada di kerumunan terkejut. Termasuk Pak Cipto dan istrinya yang langsung membawa masuk Hesti ke dalam rumah.

“INGET YA, HESTI. MULAI HARI INI, BAPAK BILANG JANGAN KE LUAR RUMAH. INGET!!” ucap Pak Cipto tegas pada Hesti.

“Iya, Pak...” jawab Hesti pelan sekali sambil menunduk.

---

Hari berganti hari. Malam berganti malam. Sejak insiden ketongan kala itu, hari dan malam selalu menjadi hari-hari dan malam-malam yang mencekam. Pada siang hari, banyak petugas dengan berbagai seragam bergantian mondar-mandir mengitari jalan-jalan desa. Giliran sore hari, bergantian mobil-mobil patroli berderung-derung mengintai desa, mengintai siapa pun. Pada malam hari, tidak ada lagi bocah-bocah mengaji lepas bada isya di musala, tidak ada lagi bapak-bapak yang bergiliran menjaga poskamling, tidak ada lagi kerumunan penduduk desa di salah satu rumah warga, dan tidak ada lagi acara-acara yang diadakan oleh salah satu keluarga. Yang ada hanya tembang-tembang yang dilantunkan jangkrik, kodok dan serangga-serangga lain di pinggir sungai. Juga tak lupa, derap-derap sepatu pantofel dan senter-senter petugas-petugas yang entah dari mana datangnya.

Bahkan kerap kali Hesti terbangun pukul 2 pagi karena mendengar dentuman keras dari arah jembatan dekat rumahnya. Dar! Dar! Dar! ... Plung! Plung! Plung! ...

“Bapak belum tidur lagi?” tanya Hesti pada Bapaknya.

“Kok bangun lagi? Udah, udah, Hesti tidur lagi ya,” jawab Bapaknya.

“Itu suara apa sih, Pak? Tiap malem selalu ada suara kaya gitu, mirip kembang api, emangnya ada orang main kembang api malem-malem jam segini, Pak?” tanya Hesti masih penasaran karena selama ini Hesti tidak pernah diberi tahu Bapaknya apa yang sedang terjadi di desanya.

“Malem-malem ngga ada yang mainan. Udah, Hesti tidur lagi ya,” jawab Pak Cipto pelan menyembunyikan kecemasan dibalik wajahnya.

“Bapak juga tidur ya. Nanti, kalau-kalau Hesti kebangun lagi, semoga Bapak lagi tidur,” jawab Hesti.

“Yaudah, yu tidur,” jawab Bapak sembari mengelus-elus rambut Hesti dan menidurkannya lagi.

Tok! Tok! Tok! Belum sempat memejamkan mata, mendadak terdengar suara ketukan pintu dari depan rumah. Pak Cipto sengaja tidak langsung menuju ruang depan, menunggu lagi, barangkali suara itu hanya datang dari imajinasinya.

TOK! TOKKK! TOKKK! TOOKK! Ternyata suara ketukannya lama-lama menjadi cepat dan kencang. Pak Cipto langsung berjalan menuju ruang depan untuk membuka pintu. Istrinya mengikuti di belakangnya. Sedangkan, Hesti sudah kembali terlelap di tidurnya.

Kreeekk.... perlahan pintu terbuka. Dalam kepekatan gelap malam, nampak tiga orang laki-laki berseragam dan bersepatu telah berdiri di ambang pintu. Paling depan berdiri laki-laki berkacamata, dua di belakangnya menggunakan penutup wajah sampai bawah mata.

“Dengan Pak Cipto Buwara?” tanya si petugas kacamata pada Pak Cipto.

“Benar,” jawab Pak Cipto tegas.

“Anda harus ikut saya malam ini!” jawab si petugas kacamata mendadak dengan suara tegas.

“Kemana, Pak?”

“Udah kamu tinggal ikut. Tinggal jawab pertanyaan-pertanyaan saja nanti di pos.”

“Saya tidak ada hubungannya dengan partai itu, Pak. Saya cuma bantu-bantu saja,” jawab Pak Cipto membela diri.

“Alah kebanyakan cing-cong. Cepat bawa dia, geret aja kalau perlu!” suruh si kacamata kepada dua petugas lainnya.

“Siap, bos!” jawab mereka bersamaan.

Pak Cipto langsung disekap kedua tangannya oleh dua petugas suruhan si kacamata. Pak Cipto sempat meraung-raung barang sebentar, tidak tega membiarkan si istri melihatnya diseret-seret petugas dari rumahnya. Sementara, si istri membalas raungan itu dengan tangisan kencang dan teriakan “JANGAAAN!” berkali-kali. Rasanya sia-sia saja menahan suaminya pergi, karena ketika itu juga wajahnya dipukul oleh si kacamata. BUG! Ibu Hesti pingsan seketika di pelataran rumahnya.

---

“Bu, bangun. Buu... Bu...” Hesti kaget melihat Ibunya tertidur di luar rumah dan langsung membangunkannya.

“Bu...”

“Hesti...” Ibu terbangun.

“Bapak! Bapak! Bapak!” Ibu Hesti tiba-tiba teriak memanggil-manggil Bapak, Hesti tidak mengerti.

“Bapak kenapa, Bu?” tanya Hesti.

“Bapak...” tiba-tiba lagi Ibu Hesti menangis lalu berjalan perlahan menuju ruang depan.

Hesti tidak tahu apa yang harus ia lakukan selain memeluk ibunya. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada Bapak dan mengapa Ibu menangis. Hesti bingung. Hesti tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

Satu jam berlalu, Ibu Hesti masih tetap menangis di ruang depan. Hesti akhirnya memutuskan untuk ke luar rumah. Sudah berhari-hari ia hanya hidup di rumah saja. Inilah kesempatannya bertamu ke rumah Ida dan bertanya pada Ida apa yang sedang terjadi.

Hesti lalu pergi menuju rumah Ida. Ia terkejut, tidak hanya rumah Ida, tetapi semua rumah terlihat seperti tidak ada penghuninya. Jendela dan pintu tertutup rapat. Bahkan sendal di pelataran rumah pun tak ada. Hesti memutuskan untuk pergi ke pinggir sungai, ia pikir barangkali Ida sedang bermain di sana menunggu dirinya, seperti hari-hari biasa. Sembari berjalan menuju kali, ia melewati rumah-rumah yang nampak sepi dan tidak ada tanda-tanda gerak-gerak manusia. Ia sangat heran. Setelah jalan beberapa meter, ada satu rumah yang pintu belakangnya terbuka. Hesti berhenti sejenak, mengamati, barangkali ada orang yang bisa ia tanyai. Kemudian, terdengar suara yang keras tapi seolah-olah seperti bisik-bisik, “Semalem Pak Cipto dibawa petugas. Sebelum insiden ini, dia kan sering mampir terus keliatan mondar-mandir di kantor partai palu arit di Gedongan sana. Apalagi sering banget bantu-bantu kemana-mana. PKI dia! Untung istrinya ngga dibawa. Kalau dibawa semua anaknya mau diurus sama siapa kan?”

Hesti sedih mendengar perkataan orang itu. Ia kemudian lekas-lekas lari menuju ke sungai. Tiba-tiba langkah kakinya berhenti mendadak. Betapa terkejutnya Hesti melihat banyak potongan tubuh dan kepala manusia mengapung-apung di sungai. Hesti tidak menyangka akan melihat pemandangan mengerikan seperti ini. Ia masih tidak tahu apa yang sedang terjadi di desanya. Yang ia tahu air sungai yang biasanya jernih, sekarang berubah menjadi berwarna merah pekat. Dan yang ia tahu, ia hanya biasa bermain air dan lumpur bersama Ida di sungai itu.

 

Surakarta, 29 November—1 Desember 2022

Alhas

Komentar