BAHAGIA ITU PASTI, DERITANYA JAUH LEBIH PASTI


 



Ada masa ketika saya meyakini bahwa kezaliman dapat berwujud memperkaya diri sendiri. Bahkan, saya muak dengan orang yang berdoa ingin rezekinya melimpah agar dapat menyantuni atau memberi pada orang-orang yang membutuhkan. Artinya, apakah orang ini sekaligus berdoa agar masih ada orang yang kekurangan sehingga dapat ia santuni? Saya tidak habis pikir ada orang yang sekejam itu “request” penderitaan bagi orang lain agar menjadi ladang pahala baginya. Semacam, mungkin ia berpikir hidup ini memang seperti halnya becocok tanam.

Mengapa tidak berdoa agar seluruh umat manusia dapat hidup layak dan berkecukupan sehingga tidak ada yang mengemis dan membutuhkan uluran tangan berupa materi?

Ya, meskipun pada akhirnya saya sadar juga bahwa akan sangat utopis jika mendambakan kesejahteraan yang merata di semesta yang serba tak mesti ini. Orwell dalam esainya yang sudah diterjemahkan oleh Widya Mahardika Putra bejudul Bisakah Para Sosialis Berbahagia* menjelaskan bahwa penderitaan memang merupakan hal tak terpisahkan dari hidup manusia. Seperti halnya pepatah “selalu ada pelangi setelah hujan badai”, begitulah cara dunia bekerja. Kehidupan akan membaik, selalu ada yang dijanjikan setelah melalui penderitaan, yaitu kebahagiaan. Atau, sesederhana konsep bahwa kita hanya bisa mengerti rasa bahagia jika pernah atau telah merasakan penderitaan. Rasa manis kebahagiaan baru bisa kita cecap setelah menderita, begitu kira-kira. 

Memang, Orwell pun sempat memiliki pemikiran serupa. “Dunia macam apa yang kita cita-citakan, kalau bukan dunia di mana derma tidak lagi dibutuhkan?”

Bukankah hal yang diinginkan setiap orang adalah kehidupan yang cukup ketika segala kebutuhan dapat terpenuhi tanpa harus meminta atau menunggu derma/pemberian orang lain? Dengan catatan, hal ini terlepas dari memang keinginan manusia yang tidak ada ujung pangkalnya.

Segala hal hampir tentu memiliki tetapi. “Tapi apakah itu berarti kita menginginkan utopia yang tidak mempunyai derita atau tidak memerlukan upaya?”

Kembali, jika dalam hidup sudah tidak ada lagi penderitaan, bagaimana kita bisa mengenal kebahagiaan? Bukankah katanya, hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan? Entah menang dari apa atau kapan bisa disebut menang, tentu tidak akan dibahas dalam tulisan ini. Intinya, segala jenis penderitaan, baik itu qodrati alias pemberian Ilahi berupa ujian maupun dalam bentuk upaya-upaya di jalan terjal yang justru kita pilih sendiri untuk kita tempuh dalam meraih hal-hal tertentu, akan selalu melekat dan menjadi hal yang mustahil untuk lepas darinya.

Frasa hidup adalah penderitaan barangkali memang benar, yakni agar manusia dapat tetap berbahagia. Bukankah dengan demikian, Tuhan—bagi yang percaya—jelas Maha Pemurah? Ia memang tidak memberi kebahagiaan secara cuma-cuma. Ia memberi kebahagiaan beserta penderitaan—entah mana yang lebih tepat disebut bonus. Ia membiarkan manusia memaknai kebahagiaan itu sendiri … lewat … p-e-n-d-e-r-i-t-a-a-n.

Barangkali memang saya sempat menjadi seorang sosialis—secara tidak sadar—dengan memimpikan keadaan yang ideal ketika setiap orang tidak perlu merasakan kepayahan dan kekurangan. Namun, Orwell nyata menyadarkan saya bahwa kehidupan tidak sesederhana itu. Toh, terbebas dari penderitaan jelas bukan akhir segalanya, bukan tujuan utama. Rasa welas asih dan persaudaraan antarmanusialah yang diperlukan di kehidupan yang fana ini, katanya, untuk dapat berbahagia.


Surakarta, Februari 2023

-Hana al Biruni


*) dapat dibaca di buku Bagaimana Si Miskin Mati, kumpulan esai George Orwell, diterjemahkan oleh Widya Mahardika Putra, dan ditebitkan oleh Diva Press (Yogyakarta) pada tahun 2019.


Komentar