KATA-KATA HARI INI


 Selain menunaikan tatap muka, media sosial agaknya menjadi lahan subur bagi tumbuh kembang susut layu kata-kata. Aktivitas manusia hari ini seolah tidak bisa lepas dari ruang lingkup kata-kata. Terlebih lagi dengan dibarengi perkembangan teknologi yang mendukung peredaran kata-kata dalam kancahnya yang lebih luas.

Salah satu hal yang menjadi jembatan terciptanya komunikasi adalah bahasa, dan kata-kata yang merupakan anak turun dari bahasa secara otomatis ikut andil dalam terselenggaranya aktivitas tersebut. Menyoal kata-kata, saya diingatkan dengan sajak Paman Doblang yang ditulis manusia Rendra—mungkin kau juga pernah secara sekilas bahkan penuh mendengar atau membacanya. Dalam sajak itu, Rendra mengakhiri bait dengan larik yang bunyinya “dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”. Hal itu merujuk pada pertanyaan (bagi diri saya) sudah sampai mana kata-kata yang sempat dan pernah terlontar. Sudahkah kata-kata menetas menjadi anak-anak yang berjuang di dalam tindakan. Atau hanya mengendap, menjadi telur kopyor yang mustahil untuk disantap.

Sebagai manusia, kita—terutama saya—sering lupa makna dari kata-kata. Kemudahan menjadikan kita sering nggampangke dan masa bodoh. Bukan menyuruh untuk berlebihan, tetapi barangkali kita perlu mawas diri, memberi fungsi pada cermin di dalam kamar untuk melihat ke arah diri kita sendiri, berkaca, hari ini, apakah kita masih manusia.

“Kata-kata hari ini” dalam wujudnya yang kalimat sering terlontar dari beberapa konten dengan bahan baku utama kata-kata yang selengkapnya bisa ditemukan di berbagai sosial media. Mereka, para subjek di dalam konten mengucapkan kalimat itu untuk dilanjutkan dengan kalimat lain dalam kerangka yang lucu—seringnya begitu. Meski, tidak sedikit pula yang melanjutkannya dengan kalimat bernada pesan moral dan nasihat-nasihat bwijaksss, tapi, kembali lagi, sampai di mana kata-kata hari ini.

Saya tidak henti-hentinya bertanya pada diri saya sendiri. Menanyakan di mana tempat dan keberadaan kata-kata saya berhenti. Sudah sampaikah ia di tempat yang seharusnya. Sudahkah ia merdeka dan terbebas dari belenggu dan bias. Sudahkah ia jujur, sederhana, dan tidak ngapusi—seperti slogan para penghamba kursi. Sudahkah ia menunaikan ibadah laku. Sudahkah ia…

Dan pada akhirnya ocehan ngalor-ngidul di atas harus saya hentikan. Sebelum menjadi sesuatu yang berlebihan dan memuakkan seperti birokrasi dan administrasi hari ini. Melalui larik akhir sajak Paman Doblang sebetulnya sudah cukup untuk mewakili apa yang sebenarnya ingin saya bicarakan—pada diri saya sendiri. Hanya saja, saya ingin menujunya dengan sedikit berwisata referensi. Ya, biar terkesan intelektual dan tahu banyak hal. Pinjam-meminjam dan kutip-mengutip harus beriringan dengan apa yang disampaikan, dituliskan. Bukan karena kesadaran akan betapa minimnya pengetahuan—itu pasti. Tapi, lebih pada persoalan sampul biar terlihat lebih wah dan sedikit ilmiah—banyak juga boleh dahhh.

Dari rasan-rasan ngalor-ngidul di atas muncul beberapa persoalan sebagai berikut; pertama, terbuat dari apa kata-kata. Kedua, untuk apa hari ini kita berkata-kata. Ketiga, sudahkah kita menjadi subjek yang bersedia melaksanakan kata-kata. Kesemuanya menawarkan segala bentuk tindak lanjut dan membuka secara merdeka obrolan progresif untuk segala kemungkinan hari depan.

Terbuat dari apa kata-kata merujuk pada persoalan latar belakang kita dalam berkata-kata, perihal alasan kenapa kita melontarkan kata-kata. Untuk apa hari ini kita berkata-kata merujuk pada fungsi dari kata-kata atau bisa juga mengarah pada tujuan kita dalam berkata-kata. kemudian, sudahkah kita menjadi subjek yang melaksanakan kata-kata adalah suatu proses mengembalikan kata-kata kepada fitrah yang seharusnya. Kata-kata yang tidak berhenti pada singkatan “oot” atau akronim “jarkoni”.

Melihat hari ini, persoalan di atas cenderung berhenti pada jawaban yang bernada omong kosong. Hal itu merujuk pada kekosongan di dalam kata-kata—setidaknya itu yang terus-menerus saya dengar dan temui di pada hari ini. Kecacatan demi kecacatan semakin sulit dihindari. Omong kosong tegak berdiri dan—sayangnya—telah menjadi sesuatu yang dilumrahkan karena terlanjur menjadi kebiasaan. Janji manis cenderung berakhir tragis dan telah menjadi pemakluman. Suara paling lirih sampai dalam koridor teriakan hanya dihuni laba-laba dengan sarang paling sempurna. Hari ini, sampai di mana kata-kata.

Secara serempak, barisan kata-kata yang telah menjadi arwah gentayangan berteriak, sampai di bibir saja!

 

Surakarta, 07 Februari 2023

/Minda Lacika

Komentar