TOKO PENJUAL JAM
Hari
ini aku tidak bisa tidur lagi. Sudah berhari-hari, bahkan berbulan-bulan sejak
aku tidak bisa tidur dengan normal(?) Ketika semua orang tidur, aku bangun.
Ketika semua orang bangun, aku baru bisa tidur. Itu masih beruntung, kadang ketika
semua orang bangun, aku masih juga belum terpejam. Sungguh sial. Setiap hari,
perputaran jam dalam hidupku selalu sama, 10 jamnya aku hidup, 7 jamnya hanya
aku isi dengan mencoba untuk tidur dan 7 jam sisanya aku tidur. Itu juga masih
beruntung, terkadang, 7 jam yang harus kuisi dengan tidur itu malah kulewati
dengan mencoba tidur. Jadi, 14 jam aktivitasku dalam hidup hanya untuk mencoba
tidur. Ohh, apakah jam tidur itu bisa dibeli?
Waktu
telah menunjukkan pukul 10 pagi. Aku bangun dari posisi tidurku, bukan dari
aktivitas tidurku. Sayang sekali aku tidak bisa menikmati tidur malam ini.
Padahal setiap tidur aku selalu mendapat mimpi yang tidak kusangka-sangka. Ya,
terkadang, aku tiba-tiba pergi ke suatu tempat yang indah tapi aku tidak tahu
tempat itu ada di mana. Mungkin hanya di mimpiku? Kadang juga, aku diberi mimpi
melihat masa laluku, aku cukup menikmatinya, meski aku hanya bisa mengingat
sekilas setelah aku bangun. Ada pula mimpi yang sering sekali berulang-ulang,
entah mengapa, tetapi setiap tidur aku kerap mengalami itu. Ada satu tempat
yang sering sekali muncul di mimpiku. Ada juga suatu adegan yang sama persis
tanpa ada perubahan sedikit pun, berulang-ulang hadir di mimpiku. Entah dari
mana datangnya mimpi itu, aku juga tidak mengetahuinya.
Aku
teringat hari ini aku harus pergi ke suatu tempat. Tetapi, sebelum itu, aku
harus mampir ke toko jam dekat stasiun kereta bawah tanah. Aku tahu persis toko
jam itu karena toko itu sering kulewati—rumahku memang dekat dengan stasiun
kereta bawah tanah. Jam tangan yang sering ku gunakan mendadak rusak, jarum
jamnya tidak bergerak sama sekali. Awalnya, kukira masa hidup baterainya telah
usai, setelah kuganti dengan cadangan yang kusimpan, ternyata bukan itu
masalahnya. Sayang, aku hanya memiliki satu jam tangan. Jadi, mau tidak mau,
jam tanganku harus kubawa ke ahlinya. Rasanya aneh jika aku tidak menggunakan
jam tangan.
---
Setelah
aku sampai di toko jam dekat stasiun kereta itu, toko Nanji namanya, tidak
kusangka-sangka, antreannya cukup banyak. Padahal setiap aku melewatinya,
hampir sering sepi alih-alih ramai seperti sekarang ini. Aku mengambil tempat
duduk sesuai antrean. Setelah kuhitung, ada enam orang lain yang juga sedang
mengantre.
Satu
ruangan ini penuh dengan ibu-ibu, kecuali aku. Karena aku akan tahu apa yang
terjadi selanjutnya, aku memilih menepi sedikit dari tempat duduk antrean. Dan
benar saja, baru beberapa detik sejak aku membatin, kejadian itu dimulai.
Ibu-ibu itu mulai saling bisik!
Entah
kebetulan karena jumlahnya genap, ibu-ibu itu saling berbisik satu sama lain,
jadi terlihat ada tiga grup bisik-bisik di ruangan ini. Tentu, kecuali aku, aku
sendirian. Dua orang ibu-ibu yang paling dekat jaraknya denganku berbisik
sedikit kencang, sehingga aku masih terdengar jelas apa yang mereka katakan.
“Ibu
nanti mau pesan waktu apa?” tanya Ibu-ibu berbaju pink.
“Anak
saya baru saja lulus sekolah, saya mau pesan waktu keberuntungan buat anak
saya, apa pun deh, biar dia punya masa depan yang cerah,” jawab ibu-ibu berbaju
pink polkadot.
“Ohh,
benar. Ibu datang ke tempat yang tepat. Waktunya juga tepat,” puji Ibu berbaju
pink.
“Benar,
Bu. Untung saya tahu tempat ini. Sekarang ini waktu yang paling pas pesan waktu
untuk anak saya. Ibu sendiri mau pesan waktu apa?”
“Ya,
kurang lebih sama, Bu. Anak saya juga baru saja lulus kuliah, saya mau belikan
waktu keberuntungan biar bisa cepat diterima kerja,”
Beli
waktu? Ngomongin apa sih Ibu-ibu ini.
---
Setelah
beberapa menit menunggu, ternyata tidak ada pergerakan apa pun dari toko ini.
Pantas saja setiap lewat selalu sepi, pelayanannya lama banget! Tetapi, aneh
juga pagi ini melihat banyak pelanggan antre.
Kebetulan
yang kebetulan lagi, setelah membatin, Ibu-ibu dengan riasan tipis di wajahnya
dan mengenakan kaos oblong betuliskan ‘Nanji’ yang sablonannya sedikit memudar
keluar dari balik tirai menuju meja kaca yang penuh dengan jam. Oh apakah semua
orang di sini bisa membaca pikiranku?
“Nomor
antre ke-7 silakan,” ucap Ibu itu.
“Eh,
kenapa manggilnya dari antrean paling belakang sih, aneh banget,” batinku sedikit
menggerutu.
Aku
berdiri dan berjalan menuju meja kaca penuh jam itu. Aku ungkapkan apa yang
terjadi dengan jam tanganku dan memintanya untuk memperbaikinya, tentu dengan
segera jika memungkinkan. Dia menyanggupi untuk memperbaikinya dan menjanjikan
padaku untuk menunggu sekitar 20 menit. Aku tidak masalah dengan itu. Untungnya
aku memang sedang longgar. Eh, lebih tepatnya setiap hari aku selalu longgar.
Aku
kembali duduk lagi, anehnya, setelah nomor antreanku terpanggil, Ibu-ibu itu
tidak ada yang marah sama sekali. Biasanya mereka akan memprotes apa pun yang
terjadi, bahkan marah semarah-marahnya kalau-kalau nomor antreannya diserobot,
tetapi ini tidak. Wah, sungguh aneh. Apakah hari ini adalah hari kebalikan?
Aku
tidak duduk di tempat yang sama. Aku duduk di bangku yang paling depan, tetap
menepi sedikit. Ibu-ibu yang duduk paling dekat denganku tiba-tiba bertanya.
“Nggak
ngajak teman, Mas?”
“Nggak,
Bu,” jawabku sedikit bingung. Kenapa ngajak teman?
Dari
balik tirai, muncul lagi seorang Ibu-ibu yang wajahnya sangat mirip dengan Ibu-ibu
penjaga meja kaca. Dari wajahnya, gaya rambutnya, riasan di wajahnya, bahkan
sablonan yang memudar di bajunya pun sama. Ini bukan kembar lagi, tapi kembar
identik banget!
Dia
berdiri di samping meja kaca. Memanggil nomor antrean pertama dan kedua. Ibu-ibu
yang dipanggil nomor antreannya berdiri dan segera berjalan menuju karyawan kembar
itu. Yang baru muncul dari tirai mengarahkan mereka menuju dinding di samping
pintu masuk. Pemandangan yang aneh, kenapa ke dinding, kan di sana nggak ada apa-apa?
Karyawan
kembar yang baru muncul, ya kita sebut aja karyawan Kembar B, mengikuti dua Ibu-ibu
berjalan menuju dinding dekat pintu masuk. Karyawan Kembar B itu menekan
dinding sampai berbunyi klek. Dinding
itu terbuka dan di sebaliknya terlihat ada ruang kosong yang besar. Ternyata dinding itu
adalah sebuah pintu masuk menuju ruangan tertentu. Mereka bertiga masuk ke
sebalik dinding itu dan perlahan menghilang setelah dinding itu tertutup lagi.
Ibu-ibu
yang duduk paling dekat denganku, yang tadi menanyaiku, juga yang mengenakan
pakaian blouse biru itu kembali
bertanya lagi.
“Memangnya
masnya ngga tahu kalau di sini bisa pesan waktu?” Ibu blouse biru ini memulai lagi dengan pertanyaan yang tidak aku pahami.
“Pesan
waktu?” tanyaku sedikit bingung.
“Iya,
semua Ibu-ibu di sini pesan waktu.”
“Ohh..
Saya cuma mau membenarkan jam tangan saya yang rusak, Bu.”
Dia
tidak menjawab lagi. Aku juga ikut terdiam. Mungkin nanti tiba-tiba dia akan
bertanya lagi.
Aku
sedikit memperhatikan Ibu blouse biru
itu. Tubuhnya terlihat kurus dan wajahnya pucat pasi seperti orang yang mau
pingsan. Aku menahan diri untuk tidak menanyakan apakah dia baik-baik saja atau
apa yang terjadi pada dia, pasti akan jadi panjang urusannya. Aku kembali diam
dalam dudukku.
Tetapi,
ada satu hal yang mengganjal pikiranku sejak awal aku mengantre di toko ini.
Semua Ibu-ibu di sini membicarakan soal pesan waktu. Sungguh aneh, bagaimana
manusia bisa memesan waktu? Bukankah setiap manusia sudah menghadapi waktu
dalam takdirnya masing-masing? Apakah Tuhan bisa memberikan negosiasi soal
waktu kepada manusia?
Dengan
berani akhirnya aku menanyakan hal itu pada Ibu blouse biru, “Ibu pesan apa?”
“Saya?
Saya pesan waktu kematian, Mas,” jawabnya.
Aku
sedikit kaget dan langsung terdiam seakan sungkan untuk melanjutkan percakapan
itu lagi. Tapi, ternyata, Ibu blouse
biru itu menyadari perasaanku.
“Saya
memang masih muda, Mas. Tapi, barangkali ini kesempatan terakhir saya untuk
memutus kesedihan keluarga saya yang setiap hari terlihat murung karena melihat
saya kesakitan. Beberapa hari lalu saya sedang jalan-jalan pagi dan mendengar
tempat ini dari tetangga saya. Akhirnya saya kesini bersama Ibu blouse biru dongker ini. Kami kebetulan
bertemu di bis dan sama-sama menuju kemari. Dan kebetulan juga, tujuan kami
sama, memesan waktu kematian kami,” Ia berbicara dengan nada sangat datar.
“Ohh..
iya..” jawabku pelan sekali.
“Kalau
dua Ibu-ibu tadi yang masuk itu, mereka berniat pesan waktu keberuntungan untuk
anak-anak mereka. Kebetulan niat mereka sama. Begitu juga kami berdua. Sedangkan,
dua Ibu-ibu dengan kemeja kotak-kotak itu mereka memesan waktu sehat. Kebetulan
niat mereka juga sama,” jawabnya masih dengan nada yang datar.
“Ohhh...”
jawabku dengan menyeringai sedikit.
“Barangkali
suatu saat masnya bisa memesan waktu di sini. Mas bisa pesan waktu apa pun.
Waktu untuk kesuksesan, waktu untuk keberuntungan hal-hal tertentu, waktu untuk
kelahiran, waktu untuk jatuh cinta, waktu panen, waktu untuk usaha. Bahkan
waktu-waktu yang mungkin remeh temeh seperti waktu makan, waktu tidur pun bisa,
Mas! Mas cuma perlu cari orang yang punya masalah yang sama dan datang
sama-sama ke sini,” katanya tiba-tiba mendadak sedikit ceria.
“Ohhh
iya..” jawabku masih pelan dan sedikit senyum.
Karyawan
Kembar A memanggilku. Jam tanganku telah selesai diperbaiki. Dan tidak terasa
ternyata 20 menit sudah berlalu. Aku pergi dari toko itu tanpa berpamitan
kepada siapa pun.
---
Hari
ini aku memang ada janji dengan temanku di rumahnya untuk membahas suatu hal.
Dia mengundangku kemarin sore. Setelah pergi dari toko Nanji, aku berjalan
menuju stasiun. Sepanjang jalan, ternyata pikiranku terganggu oleh perkataan
Ibu blouse biru soal pesan waktu di
toko Nanji. Bagaimana jika perkataannya benar? Tetapi, aku pun sedikit ragu,
masa sih ada hal-hal semacam itu? Siapa yang memberikan waktu-waktu itu? Dan
bagaimana bentuk waktu itu? Apakah dia berbentuk pil, tablet atau sirup seperti
obat-obat yang dijual di apotek? Atau dia berbentuk jam beker? Atau dia
berbentuk apa? Sungguh tidak masuk akal.
Oh
tapi ini sungguh menggangguku. Aku terus memikirkan soal pesanan waktu itu.
ketika aku telah sampai di depan rumah temanku, aku tidak lekas mengetuk
pintunya dan mengucap salam, aku malah berdiri cukup lama dan terdiam di depan
pintu. Pesanan waktu itu terus berputar-putar di kepalaku.
Begitu
juga ketika aku sudah bertemu temanku. Katanya, hari ini aku terlihat sering
bengong, sampai-sampai dia sering sekali menepuk pundakku dan mengatakan, “Heh,
kok nggak fokus gitu sih?”
“Eh,
maaf, maaf,” jawabku sedikit kaget.
”Kamu
masih susah tidur ya?” tanyanya lagi.
---
Matahari
telah menyingsing ke sisi barat, menandakan hari telah sore. Karena pembicaraan
telah usai aku lekas pamit untuk pulang.
Lagi-lagi,
sepanjang perjalanan dalam kereta, pesanan waktu itu kembali muncul dan
berputar-putar di kepalaku. Aku terus memikirkan, adalah hal bagus jika aku
bisa pesan waktu tidur untukku. Aku selalu ingin tidur sebelum jam 12 dan
beraktivitas dengan baik esok harinya. Tetapi, sayang, aku tidak memiliki aktivitas
apa pun yang bisa membuat aku bergairah setelah aku terbangun. Aku selalu
bingung apa yang harus aku lakukan hari itu.
Malam
kembali datang. Keheningan malam menyeimbangi keberisikan dalam kepalaku yang
tidak habis-habis sejak sore tadi. Aku masih terus berpikir dan berniat untuk
kembali ke toko Nanji esok pagi. Aku mulai memikirkan bagaimana rasanya
berbaring di kasur dan langsung terpejam tanpa harus menunggu waktu berjam-jam
lamanya agar aku bisa terpejam. Aku mulai berharap aku tidak akan lagi bertemu
malam-malam yang panjang dengan pikiran kusut, tetapi malam yang singkat dan
tidur yang panjang dengan mimpi yang berulang-ulang. Itu lebih baik.
---
Sekarang
waktu telah menunjukkan pukul 7 pagi. Lagi-lagi aku belum juga tertidur.
Malam-malam yang berulang dan hari-hari yang sama. Kutekadkan niatku pergi ke
toko Nanji pagi ini setelah aku sarapan bubur di toko bubur langgananku di sekitar
rumahku.
Kini
aku telah sampai dan berdiri di ambang pintu toko Nanji. Kubuka pintu itu dan
pagi itu, aku adalah pelanggan dengan antrean nomor satu. Setelah menunggu agak
lama, akhirnya karyawan Kembar B yang sama seperti yang kulihat hari kemarin
memanggil nomor antreanku.
Aku
mengikutinya memasuki pintu dinding itu dan berjalan di lorong yang cukup panjang.
Kira-kira sepanjang 45 meter, aku telah sampai ujung dan bertemu sebuah pintu. Karyawan
Kembar B membukakan pintu untukku. Aku memasukinya dan di dalam ruangan yang
lega itu ada dua orang kembar identik lagi dengan pakaian, gaya rambut dan riasan
yang sama. Aku dipersilahkan duduk. Tanpa basa-basi, salah satu dari mereka
langsung bertanya kepadaku.
“Waktu
apa yang ingin kamu pesan?” tanya si Kembar, kita sebut saja Kembar Kanan.
“Waktu
tidur,” jawabku.
“Stoknya
kosong,” jawab si Kembar Kiri.
“Eh?”
jawabku sedikit kaget.
“Kenapa
kamu memesan waktu tidur alih-alih waktu lain yang biasanya anak muda pesan,
misalnya kesuksesan, keberuntungan, kepopuleran atau jatuh cinta?” si Kembar
Kanan bertanya lagi.
“Yang
saya butuhkan saat ini hanya waktu tidur yang baik aja.”
“Kamu
harus mengajak seseorang dengan masalah yang sama persis denganmu,” jawab si
Kembar Kiri.
“Sejak
kapan kamu kesulitan untuk tidur?” tanya si Kembar Kanan.
“Sudah
berbulan-bulan.”
“Kalau
kamu datang sendiri, kami tidak bisa membantu apa-apa,” ucap si Kembar Kiri.
“Kamu
dengar itu?” tanya si Kembar Kanan.
“Artinya
saya sia-sia saja datang kemari?”
“Datanglah
lagi dengan membawa seseorang dengan masalah yang sama. Begitulah cara kerja di
sini,” jawab si Kembar Kiri.
Aku
berbalik dan langsung pergi begitu saja. Sungguh tempat yang tidak masuk akal.
Dan sia-sia saja pikiranku terganggu sehari semalam karena hal tolol ini.
Setelah
pintu dinding terbuka, banyak sekali pelanggan yang berpasangan dengan model
baju, riasan, gaya rambut, dan lainnya yang serba kembar sedang mengantre. Aku
tidak habis pikir, kenapa mereka mau saja dibodohi oleh karyawan Kembar A dan B
dan si Kembar Kanan dan Kiri.
Sebelum
benar-benar keluar, karyawan Kembar B mendekatiku dan membisikkan sesuatu di
telingaku, “Datanglah lagi dengan seseorang dengan masalah yang sama. Percaya
tidak percaya, semua orang yang datang kemari pesanan mereka benar-benar
terwujud,” lalu dia tersenyum padaku.
Tidak
kusangka, setelah keluar dari toko Nanji, ternyata di luar antreannya lebih
banyak lagi dan mengular. Mirip sekali seperti barisan anak TK sedang mengikuti
karnaval. Semua orang berpasangan dan terlihat kembar. Dari baju, riasan, gaya
rambut, bahkan sampai aksesoris-aksesorisnya. Jangan-jangan sampai pakaian
dalam pun mereka sama juga. Melihat itu, pikiranku jadi sedikit goyah.
---
Dua
hari kemudian, aku sedang di rumah dan duduk di balkon memandangi langit. Hari
itu cukup cerah. Aku beralih memandangi jam tanganku. Aku teringat lagi toko
Nanji. Aku masih bertanya-tanya, apakah masih banyak orang-orang tolol yang
datang ke toko itu untuk pesan waktu? Ya, barangkali masih ada.
Jam
dinding di rumahku berbunyi dan memuntahkan burung kecil dari mulutnya, menandakan saat ini waktu telah menunjukkan
pukul 12 siang. Burung jam itu terus mengoceh ceklok ceklok ceklok. Seolah menyuruhku untuk memikirkan ulang
tentang toko Nanji itu. Mungkin, ya, ada baiknya dicoba lagi.
Aku
mengambil handphone di saku kananku.
Aku membuka Facebook, Twitter, Line, dan Whatsapp dan menuliskan status,
“Apakah ada yang kesulitan tidur?”
Solo, Januari—Februari
2023
Alhasa
Komentar
Posting Komentar