BUANGLAH SUARA PADA TEMPATNYA
Aydra,
beberapa waktu lalu aku melihat sekelompok anak memprotes rencana pemberian
penghargaan pada seseorang yang tidak seharusnya—yang oleh mereka dianggap
tidak pantas. Mereka menyebut calon penerima penghargaan sebagai seorang yang
tidak kredibel dan dalam agenda pemberian penghargaan tidak ditemukan parameter
yang jelas dan relevan. Hari berikutnya aku dipertontonkan dengan adegan
bersuara dari anak-anak yang sama. Mereka melakukan aksi demonstrasi di tengah
hingar bingar perayaan anniversary dari sebuah rumah yang mereka huni.
Sebut
saja itu kado yang telah mereka rencanakan se-out of the box mungkin agar
menarik minat anak-anak yang lain. Saking outnya sampai-sampai menerabas batas
keseyogiaan dan cenderung tidak empan papan. Atau kau bisa menyebutnya sebagai
sebuah jobdesk yang sedang mereka jalankan, sebagai sebentuk usaha agar telihat
bekerja. Atau kau bisa menyebutnya dengan sebutan apa saja selama kau sanggup
memberikan pertanggung jawaban atasnya.
Terlepas
dari polemik yang terjadi, aksi semacam itu terkadang memang diperlukan sebagai
sebentuk penyeimbang. Tetapi, yang perlu digarisbawahi adalah perihal empan
papan. Berbicara mengenai empan papan tentunya akan merujuk pada unsur
keesuaian. Menempatkan sesuatu sesuai pada tempatnya. Menjalankan sesuatu
sesuai pada waktunya. Tepat dalam mengatur arah bidikan. Meminimalisir
ketidaksesuaian yang dapat berpotensi menimbulkan korban dan perpecahan.
Aydra,
ada baiknya aku sudahi paragraf pertama, kedua, dan ketiga. Kita pindah menyoal
gerimis saja, ya. Topik bahasan pada paragraf pertama, kedua dan ketiga anggap
saja hanyalah sandiwara—setidak-tidaknya adegan dari sebuah naskah
ketidakmampuan memahami persoalan atau setidak-tidaknya pula sekadar lamunan
kosong tanpa tujuan.
Aydra,
tentu kau pernah menyaksikan gerimis. Pertanyaannya, menurutmu gerimis itu apa.
Sekadar air kecil yang jatuh atau air kecil yang cinta. Sekadar rintik merdu
atau rintik sendu. Sekadar cuaca atau sebuah peristiwa yang patut dibubuhi
tanda tanya. Aydra, gerimis tipis menampar wajahku di dalam perjalanan menujumu.
Terdengarkah bunyi gemericik di situ.
Belakangan
ini banyak persoalan terjadi. Persoalan yang lahir dari ketidaksiapan dan
keserbananggungan. Persoalan yang tidak ubahnya kedok untuk menutupi persoalan
yang sebenar-benar persoalan. Singkat kata, hari ini sebaiknya kau tidak mudah
percaya pada berbagai hal yang banyak diperbincangkan oleh media, Aydra. Bukan
maksudku untuk mencelakaimu dengan membentuk kebingungan. Lebih dari itu adalah
permintaan untuk senantiasa hati-hati. Kau tentu mengerti dan tentu tahu
mengenai peribahasa bersemayam udang di balik batu. Kau tentu paham akan
mendengarkan kalimat lanjutan dari sebuah aktivitas memberi. Maksudnya, ketika
ada seorang yang memberimu sesuatu, dengarkan dengan saksama apa yang
dibicarakan setelahnya. Lihatlah gelaganya, enduslah baunya, rasakan dengan
keheningan apa-apa yang mencuat dari seorang pemberi. Bukan berarti menaruh
curiga, tetapi, Aydra, sekali lagi adalah tentang memintamu untuk hati-hati
senantiasa.
Aydra,
apa kau tahu sekarang ini sebenarnya musim apa. Ketika aku membayangkan
gerimis, yang datang terang benderang. Ketika aku membayangkan kecerahan, yang
datang justru mendung pekat diikuti gemuruh hujan. Aydra, jangan diam saja.
Bicaralah barang sepatah dua patah kata. Negara memintamu untuk berbahasa.
Bersuara sesuai pada tempatnya. Tidak sembarangan apalagi serampangan serupa
tatanan dan regulasi perundang-undangan. Aydra, bicaralah. Berhentilah untuk
kecewa. Negara membutuhkan suaramu yang tidak hanya merdu tetapi juga indah.
Yang tidak sekadar indah tetapi juga menghidupi.
Aydra,
sebagai perantau kau dan aku perlu berterima kasih pada tanah yang telah
mempersilakan kita untuk senantiasa berusaha. Kota tempat kita bersementara
mengajarkan untuk berterima kasih atas seluruh harapan dengan dualisme hasil.
Kegembiaraan dan kekecewaan yang agaknya perlu kita rayakan dengan tanpa
berlebihan. Keduanya tidaklah beda, Aydra. Kemacetan mengajarkan tata cara
kesabaran di tengah kepulan ketergesaan. Kesepian mengajarkan untuk setia pada
kata-kata yang lahir dari seluruh kita.
Aydra,
selamatlah dalam segala usia. Baik-baik sajalah di dalam kondisi apa saja.
Temukanlah kegembiraan di dalam derita. Senantiasalah sehat di tengah kemelut
para penjual obat dan persaingan yang peperangan. Beninglah seperti mata air.
Melajulah sebagaimana air mata yang nggelincir dari ladang persemaian rasa
rindu. Aydra, bagaimana kabarmu.
Dari
sini akan aku cukupi surat tidak resmi ini. Yang kemudian akan aku kirimkan
melalui ekspedisi kelas ekonomi, dengan estimasi sampai kurang lebih satu
sampai tiga hari. Semoga yang datang tidak halangan tetapi kelancaran. Semoga
kau menerimanya dalam keadaan dipenuhi kerelaan.
Aydra,
kepadamu aku berbahasa. Kepadamu aku bersuara. Semoga tepat dan sesuai pada
tempatnya.
Surakarta,
15 03 2023
/Ya
Manusa
Komentar
Posting Komentar