HATI-HATI BANYAK TAYANGAN BERPOTRNSI MENGHANTUI

 Referensi kita atas hantu banyak hadir melalui cerita-cerita yang kemudian divisualkan dalam wujud tayangan di berbagai media. Terdapat berbagai pengertian mengenai hantu yang beragam. Ada yang menyebutnya sebagai roh jahat, sosok makhluk tak kasat, energi, bayangan yang muncul dari hasil olah pikiran kita, dsb. Berbicara mengenai hantu tentunya akan merujuk pada persoalan pro atau kontra mengenai hal tersebut. Banyak yang memercayainya dan banyak juga yang tidak. Semua memiliki alasan yang dipersilakan untuk dipertanggung jawabkan.

Di sini tidak akan dibahas mengenai seluk beluk mengenai hantu, baik secara luaran maupun sampai yang mendalam. Pembahasan kali ini akan merujuk pada salah satu jenis hasil kemajuan teknologi yang bernama media sosial, dengan berbagai fitur di dalamnya yang diasumsikan dapat melahirkan hantu-hantu yang tidak mengenal waktu. Hantu yang berwujud tayangan dalam bentuk gambar, tulisan, audio, video, dan campuran atau gabungan antara keempatnya.

Tidak dapat dipungkiri, kemudahan mengakses informasi adalah bukti nyata atas adanya media sosial. Kita dimudahkan untuk mengakses apa-apa yang ingin kita akses. Kita dimudahkan dalam mendapatkan suatu informasi dari persoalan kemarin ataupun hari ini. Meski, kita tidak tahu betul akan kebenaran dari informasi yang tersaji. Meski, tidak ada jaminan 100% akan validitas tayangan yang bergentayangan. Celakanya, informasi yang seyogianya menjadi penerang, malahan menimbulkan kegelapan dan ketidakjelasan. Informasi yang kita telan membuat kita keracunan. Memenuhi akal pikiran, mengendap dan mengeras menjadi bebatuan yang menyumbat laju kesadaran.

Banyak informasi yang membawa serta pengetahuan dengan imbas mencerahkan. Meski tidak sedikit pula yang berakhir dengan pening di kepala menjadi kekeruhan. Ketidakmampuan mengolah apa yang tersaji menjadikan informasi menjelma hantu yang menghantui. Kita yang penakut dan mudah goyah menjadi semakin kesulitan untuk berjalan di tengah kondisi yang rawan. Keraguan dan kebimbangan menjadi semacam kemacetan yang bercokol dan berkemungkinan menciptakan pertengkaran yang sedikit demi sedikit membuka pintu bernama perpecahan dan pelarian.

Barangkali keberanian yang cukup dapat menjadi bekal awal dalam menghadapi hantu yang bergentayangan di dalam tayangan. Keberanian yang mengantarkan kita untuk bersetia pada kesenantiasaan ingat dan waspada. Memperluas daya tampung akan informasi yang merangsek masuk dengan derasnya. Sehingga kita dapat terbebas dari aktivitas gegabah dan keburu menyimpulkan tanpa terlebih dahulu memandangnya dari berbagai sudut dan sisi.

Segala sesuatu agaknya memerlukan proses pengolahan. Mengolah informasi agar tidak menjadi hantu. Mengolahnya dengan unsur-unsur yang melibatkan aktivitas ingat dan waspada. Sebab hal baik berpotensi berpengertian buruk, begitupun sebaliknya. Sebab kita sekadar manusia yang berkait erat dengan dua hal yang bernama salah dan lupa. Sebab itulah kita perlu mengolah adiksimba seadil-adilnya.

Persoalan tidak dilahirkan dari ketidaktahuan, melainkan pengetahuan yang kita ingkari—barangkali. Singkat kata, persoalan lahir dari apa yang dinamakan kebodohan. Sesuatu yang kita tahu sebagai kekeliruan tetapi kita lakukan secara berulang dan menjadikan kita mati sebagai kemandekan.

Hantu tayangan memerlukan penyikapan. Setidak-tidaknya sedikit usaha untuk tidak menjadi korban. Mencerna terlebih dahulu atas apa yang masuk ke dalam diri kita. Mengolahnya sedemikian rupa sehingga terpilah mana yang patut dibuang dan mana yang perlu disimpan. Seperti halnya ketika kita makan, ada yang menjadi daging, darah, dsb., ada pula yang terbuang sebagai kotoran.

Untuk mencapai inti memerlukan kerja yang meniadakan unsur kemalasan. Terhadap berbagai tawaran diperlukan sikap untuk tidak grusa-grusu. Menimbang terlebih dahulu atas apa yang tersaji.

Ribuan bahkan jutaan tayangan berpotensi menjadi hantu. Tayangan tersebut mempersilakan kita untuk menempuh jalur keluasan agar selamat. Melihat secara penuh dan meminimalisir kemungkinan kecacatan dalam memandang. Sehingga hantu di depan mata tidak lagi mampu menggoda. Tayangan yang hantu tidak lagi memiliki kata kerja bernama menghantui.

Pada akhirnya adalah hati-hati. Segala tawaran dalam bentuk tayangan berpotensi menghantui. Sama halnya hati-hati pada papan penanda jalanan berlubang, penuh kelokan tikungan jaman, dan rawan kecelakaan.

 

Surakarta, 07 03 2023

/Kang Ngomyang

Komentar