MASING-MASING
Hari
ini adalah hari pengumuman SBMPTN. Hari yang aku tunggu-tunggu sejak lama.
Mungkin sekitar satu setengah bulan? Sebetulnya ya tidak lama-lama amat, tetapi
karena setiap hari bayang-bayang pengumuman itu selalu memenuhi pikiranku dan
membuat jantungku deg-degan. Jadilah satu setengah bulan itu terasa sangaaaat
lama. Aku benar-benar menantikan hari ini, menantikan namaku ‘Saraga Yuswara’
tertulis di atas ucapan ‘Selamat Anda dinyatakan lolos’. Aku juga berharap yang
sama untuk Rega. Karena itu, hari ini kami janjian di warung Mang Rowo buat
buka pengumuman sama-sama.
Warung
Mang Rowo rasanya sudah jadi satu-satunya saksi yang harus dilindungi. Warung
Mang Rowo, sekaligus pemiliknya, Mang Rowo, benar-benar menyaksikan aku dari
berbagai peristiwa. Misalnya, ketika aku terlambat masuk sekolah dan tidak
boleh masuk, aku datang ke sini. Atau ketika kebetulan aku sedang mampir ke
warung Mang Rowo sepulang sekolah, aku mendapat kabar Ibuku meninggal. Aku
menangis sejadi-jadinya dan Mang Rowo benar-benar menenangkanku sampai akhirnya
mengantarkanku pulang. Atau misalnya lagi ketika aku mulai menyukai teman
lelakiku dan kami sering bertemu di sini. Mang Rowo dan warungnya menyaksikan
itu semua. Dan hari ini, akan ada sejarah baru yang akan disaksikan Mang Rowo
dan warungnya yang menyangkut masa depanku untuk beberapa tahun mendatang.
Warung
Mang Rowo adalah warung yang sangat sederhana. Seperti warung-warung pada umumnya,
warung Mang Rowo bentuknya seperti rumah, tetapi hanya memiliki dua ruang.
Ruang pertama adalah ruang tempat Mang Rowo melakukan transaksi jual beli.
Ruang kedua adalah ruang yang penuh dengan meja dan tempat duduk. Ada pula
teras kecil di depan. Mang Rowo menyediakan meja dinding kecil dengan papan
kayu, juga kursi panjang di sampingnya. Mirip seperti di bar-bar kopi. Eh iya,
warung Mang Rowo bukan mirip bar kopi, tetapi memang bar kopi betulan, meskipun
yang dijual cuma kopi saset biasa. Banyak anak sekolah yang sering datang ke
sini. Bukan hanya karena jaraknya yang dekat dengan sekolah, tetapi makanan dan
minuman yang dibuat Mang Rowo rasanya aduh sampe nggak bisa dideskripsiin. Enak
ba-ngeeet pokoknya!
---
Karena
hari ini udah hampir jam satu siang, aku cepat-cepat berangkat ke warung Mang
Rowo buat ketemu Rega untuk memenuhi janji seperti yang tadi aku katakan.
Kira-kira cuma 10 menit aku sudah sampai di warung Mang Rowo. Ternyata Rega
sudah sampai duluan.
“Yeuu,
aku duluan yang sampe,” sambut Rega padaku ketika aku baru sampai di warung Mang
Rowo.
“Curang
sih, naik motor. Naik angkot dong!”
“Nggak
mau wleee,” jawab Rega sambil menjulurkan lidahnya.
“Dih,
sok imut,” jawabku dengan nada ketus.
“Dih
emang imut lagi. Kamu aja sampe jatuh cinta,” jawab Rega sambil mencolek hidungku
dengan jari telunjuknya.
“Ih
apa sih.”
“Jutek
amat, Neng Sara.”
“Apa
sih, tuh diketawain sama Mang Rowo tahu,” jawabku sambil melirik ke arah Mang
Rowo.
“Biarin,
kan udah biasa si Mamang liatin kamu sama aku.”
“Liatin
apa ih?” jawab Mang Rowo sedikit teriak.
“Liatin
itu ya, Mang! Begitu, yang anu anu,” jawab Rega sambil menahan ketawa dan menutup
mulutnya dengan tangan.
“APAAN
SIH REGA,” aku sedikit teriak sambil memukul pundak Rega.
“Ngobrol
maksudnya. Ya, Mang? Ngobrol, ngobrol. Hahaha...”
jawab Rega dibarengi tawanya yang keras.
“Iyaa
Neng, ngobrol maksudnya ngobrol,” jawab Mang Rowo ikut tertawa.
Aku
tidak menghiraukan Rega dan Mang Rowo. Aku langsung mencari tempat duduk di
ruang samping yang hanya ada meja dan kursi. Beberapa menit kemudian, setelah
Rega selesai bercakap dengan Mang Rowo, dia menghampiriku.
“Aduuhhh,”
ucap Rega tiba-tiba dibarengi tangannya mengacak-acak kepalaku.
“Apaan
aduh-aduh,”
“Daritadi
apaan-apaan terus. Nggak ada kata yang lain?”
“Apa
sih?”
“Yah!
Sama aja itu,”
“Ya
terus apa?”
“Yeuu.
Kamu mau pesen apa? Biar aku yang pesenin ke Mang Rowo. Katanya, buat hari ini,
ada menu spesial buat Neng Sara. Ayam creamy.
Mau nggak?”
“Mau
lah!”
“Ngegas
aja nih bocah.”
“Hehehe..”
Rega
kemudian duduk di sampingku.
“Kok
nggak jadi pesen?”
“Udah
pesen tadi. Kalo ayam creamy kan kamu
jelas mau, jadi pas Mang Rowo nawarin, aku iyain langsung.”
“Ohhhhhh...”
jawabku sambil mengeluarkan laptop dari tasku.
“Gimana?
Gimana? Udah siapp calon arsitekku?”
“Huuuhh...”
jawabku menghela nafas panjang.
“Dih
lebay, panjang amat tarik nafasnya,” jawab Rega dengan nada mengejek.
“Dih
lebay apaan. Ini tuh penentuan masa depan aku tahu!”
“Iya..
Iyaa, Raaa..” jawab Rega dengan nada lembut sambil mengelus kepalaku dengan pelan.
“Deg-degan,
Gaaaa,” jawabku sambil menutup wajahku dengan kedua tangan.
“Aman
kamu mah, lolos lolos,” balas Rega
dengan santai.
‘Amiiiiin!”
jawabku sedikit teriak.
---
“Sepuluh
menit lagi nih. Pas banget makanmu udah abis. Ayo cepat nyalakan laptopmu, Tuan
Putri,”
“Siap,
Yang Mulia. Laptopmu juga ayo keluarin cepat,” jawabku pada Rega
Aku
menyalakan laptop. Begitupun dengan Rega. Kami berdua sama-sama membuka web
SBMPTN dan menuliskan nomor pendaftaran satu sama lain. Aku menuliskan nomor
pendaftaran Rega di laptopku. Sedangkan Rega menulis milikku. Dua menit
berlalu. Lima menit berlalu. Delapan menit berlalu. Sepuluh menit berlalu.
Inilah saatnya. Klik!
“Ra...”
Rega memanggil pelan sambil menoleh ke arahku.
“Ga...
Kamu nggak lolos.”
“RA!
KAMU LOLOOS!” Rega berteriak tanpa menghiraukan perkataanku sebelumnya.
“HAHHH?”
“RA
KAMU LOLOS! KAMU LOLOOOS!” Rega teriak lagi, sekarang tangannya menarik kedua
tanganku. Kami sama-sama loncat-loncat dan berteriak, “LOLOSSS! LOLOOSS!
LOLOSS!”
“Siapa
yang lolos ini?” tiba-tiba Mang Rowo keluar dari ruang sebelah dengan muka
penasaran.
“Sara,
Mang. Sara jadi anak ITB, Mangg!”
“Waahh,
selamat ya Neng Sara. A Rega gimana? Lolos juga nggak?”
“Ah,
saya mah jelas lolos atuh, Mang. Tapi, depannya ada kata
‘nggak’nya, hahahaha...”
“Ih!”
jawabku sambil memukul pundak Rega. “Bercanda terus..” lanjutku.
“Yee,
kan ini lagi seneng-seneng, masa nggak boleh bercanda.”
“Kamu
nggak apa-apa?”
“Nggak
apa-apa atuh.”
“Beneran?”
“Ya,
beneran, Ra..”
“Ra..”
“Kenapa?”
“Aku
mau ngomong boleh nggak?”
“Ngomong
aja.”
“Tapi...
Kayanya harus ngetik, Ra.” jawabnya pelan sekali.
Kami
punya kebiasaan berbeda dari yang lain. Kadang, kalau situasi nggak
memungkinkan kami bicara secara langsung karena mungkin bisa membuat emosi kami
meledak-ledak, kami bicara dengan mengetik. Atau ketika kami susah mengutarakan
sesuatu. Atau lagi, ketika kami sedang marahan dan nggak mau bicara satu sama
lain, tetapi perlu bicara, kami bicara dengan ngetik. Atau kadang pula,
kegiatan ngetik-ngetik itu cuma buat seneng-seneng aja. Mirip-mirip orang chattingan, tetapi orangnya ada di
sebelah dan kita nggak saling bicara, hanya diem dan ngetik. Kalau diliat dari
nada dan cara bicara Rega kali ini, kayanya dia lagi nggak bisa ngomong secara
langsung. Yang artinya ada suatu hal yang benar-benar genting. Dan karena
waktunya sangat tiba-tiba, aku jadi mulai berpikiran yang tidak-tidak.
“Yaudah,
pakai laptopku, Ga...”
Kami
meletakkan laptop di meja di posisi tengah-tengah di antara kami. Rega mulai
mengetik. Sementara, pikiran dan pandanganku melayang-layang entah kemana.
“Selamat
ya, Ra.” tulisnya. Aku tidak menyangka ternyata dia cuma bercanda dengan
membuat suasana tegang.
“Iya
makasih, Regaaa. Rese banget cuma mau ngomong ini,” balasku.
“Ada
lagi.”
“Apaaaa?”
“Kita
udahan aja ya, Ra?”
“Hah?”
“Kok
hah?”
“Ya
lagian, tiba-tiba banget? Gara-gara kamu nggak lolos terus kita udahan gitu?”
“Nggak
gitu, Ra.”
Sara
tidak melanjutkan mengetik, kepalanya langsung tertunduk dan wajahnya tertutup
rambut panjangnya. Rega kemudian memanggil pelan, “Ra...”. Sara kemudian
mendongak lagi dan mulai mengetik.
“Kenapa
tiba-tiba? Tadi kita masih baik-baik aja, Ga..”
“Kan
putus nggak harus berantem dulu, kan, Ra?”
“Ya,
tapi kenapa? Kamu udah nggak mau lagi sama aku?”
“Aku
selalu mau sama kamu, Ra..”
“Terus
kenapa pergi?”
“Karena
aku nggak bisa, Ra.”
“Nggak
bisa kenapa? Dua tahun ini kamu bisa tuh.”
“Mulai
hari ini, sampai tahun-tahun besok, aku nggak bisa, Ra.”
“Ya,
tapi kenapa? Kenapa?” balas Sara.
Rega
diam. Belum melanjutkan percakapan di laptop. Wajahnya ikut menunduk seperti
Sara. Pundak Sara terlihat bergerak pelan ke atas dan ke bawah dibarengi dengan
titik-titik air yang menetes dari sela-sela rambut yang menutupi wajahnya. Rega
tetap diam.
“Aku
nggak bisa LDR, Ra...”
Mendengar
ketikan Rega selesai, Sara bangkit lagi, membaca, dan kaget. Sara menyeka air
matanya dan mengetik lagi.
“Kamu
serius, Ga, ngasih aku alesan itu?” Sara mengetik dengan menyeka ingus yang
keluar dari hidungnya.
“Maaf
ya, Ra..”
“Ga,
sumpah. Nggak lucu.”
“Aku
nggak lagi ngelucu, Ra. Aku udah mikirin ini sejak kita ujian SBMPTN. Aku yakin
aku nggak lolos. Karena itu aku mikirin ini, Ra. ”
“Kenapa
nggak bilang dari kemarin-kemarin? Ini tuh hubungan, Ga. Nggak cuma kamu doang
yang bisa mutusin dan mikirin hal-hal penting begini, tapi berdua. Aku pikir
kita baik-baik aja, ternyata kamu nggak.”
“Kamu
tahu sendiri, Ra, orang tuaku gimana. Aku harus masuk kedokteran UI, tapi
otakku pas-pasan. Tahun ini aku gap year.
Tapi, meskipun tahun ini aku keterima. Akupun nggak bisa janji bisa terus
sama-sama kamu, Ra.”
“Kenapa
nggak dari awal aja? Kenapa baru sekarang?”
“Nggak
ada yang bisa mencegah orang yang jatuh cinta, Ra. Sampai kapanpun, aku bakal
tetap suka sama kamu.”
“Aku
nggak ngerti ya jalan pikiranmu.”
“Maaf
ya, Ra.”
“Kamu
nggak mau nyoba dulu, Ga?”
“Mau
nyoba juga, akhirnya bakal tetep sama, Ra.”
“Tahu
darimana? Nyoba, usaha aja belum udah bilang tahu akhirnya. Emangnya kamu
dukun?”
“Karena
aku tahu, Ra.”
“Maaf
ya, Ra. Tapi, aku pikir, kamu pasti ngertiin gimana keadaanku.”
“Oke,
kita putus. Tapi, kita jangan pernah ketemu lagi ya.”
Sara
menyingkirkan tangan Rega yang baru saja akan mengetik. Sara menyimpan
percakapan itu kemudian mematikan laptopnya, dan memasukkannya ke dalam tas.
“Ra..
Ra.. Ra..” panggil Rega berkali-kali.
Sara
tidak menghiraukan Rega dan ingin cepat-cepat pergi dari warung Mang Rowo. Sara
menuju ruang sebelah dan membayar pesanannya. Sara buru-buru pergi dari warung
Mang Rowo dan menuju jalan raya untuk menunggu angkot. Setelah Sara keluar dari
warung Mang Rowo, Mang Rowo berteriak, “Sekali lagi selamat ya, Neng Saraaa!”
Sara
seperti tidak menghiraukan ucapan Mang Rowo. Dia terus berjalan, Rega mengikuti
di belakangnya.
“Ra..”
panggil Rega. Sara tetap diam dan berjalan. “Ra, kita belum selesai ngomong.”
“Kita
udah selesai, Ga. SE-LE-SAI. Kamu juga yang mau.”
“Aku
anter pulang ya?”
“Nggak
usah.”
“Kan
aku pernah bilang, nggak akan ngebiarin kamu bete, apalagi manyun kaya bebek
begini.”
“Dih
rese banget. Yaudah cepet ambil dulu motornya.” jawabku dengan ketus.
“Tunggu
di sini. Jangan pergi. Kalau ada mang-mang angkot ngajakin pulang jangan mau
ikut.”
“Brisik!
Buruan!”
Sesampainya
di depan rumah Sara. Sara langsung masuk gerbang dan tiba-tiba Rega memanggil,
“Raa!” Sara menengok ke belakang, ke arah Rega. “Sukses ya, Ra, arsitektur ITBnya!”
Sara
tidak menjawab dan langsung membuka pintu rumah. Ia disambut ayahnya di ruang
tv.
“Gimana
pengumumannya? Benar hari ini kan?”
Sara
berlari memeluk ayahnya dan menangis.
“Kok
nangis? Nggak apa-apa lo kalau nggak lolos, kan bisa coba lagi.”
“Sara
lolos arsitektur ITB, Yah.” jawab Sara pelan dengan sesenggukan.
Setelah
mengatakan itu, Sara masih menangis di pelukan Ayahnya.
Surakarta, Maret 2023
Alhasa
Komentar
Posting Komentar