PURNAMA, KAU, DAN BEBERAPA RINDU


Aydra, aku akan memulainya dengan sebuah klarifikasi atas kesimpulan sementara dari “Segenggam Purnama” kemarin, yang menyebutkan bahwa orang-orang tidak ada yang peduli tentang hilangnya purnama. Ternyata aku keliru mengenai itu. Tidak semua orang tidak peduli pada purnama yang hilang. Kini mulai bermunculan satu persatu ia yang mempertanyakan keberadaan purnama.

Sejak itu ponselku tidak berhenti berdering. Nomor tidak dikenal silih ganti menghubungi. Ada yang memulainya dengan basa-basi, ada yang langsung ke inti, dan beberapa ada yang nekat menelpon malam-malam untuk menanyakan segenggam purnama yang hilang.

Kesemuanya yang menanyakan purnama adalah mereka yang terbuang dan tersingkir oleh apa yang disebut sebagai kemajuan. Mereka, orang-orang tercinta yang dikalahkan dari lintas edar kehidupan, yang mati-matian untuk tidak mati, yang mencintai kekalahannya, yang mengolah derita menjadi percik-percik cinta di sudut-sudut gelap dan sunyi. Aku bingung Aydra, karena itu aku menghubungimu lagi.

Aydra, belakangan ini perasaan was-was dan khawatir sering bertamu. Kedua perasaan itu seperti hantu di dalam kebingungan akalku. Banyak peristiwa yang mengingatkanku pada keluasan cinta yang tidak dapat ditampung oleh hanya akal. Mungkin logika bisa sesekali menerjemahkan tindakan cinta, tapi terhadap cinta itu sendiri, logika menyerahkannya pada keluasan perasaan, jiwa, hati, serta bagian paling inti yang namanya belum aku ketahui. Mungkin ialah ruh atau kedalam batiniah yang mengantarkan kita pada syahadat.

Aydra, apakah kau menyukai segenggam punama. Jika iya, apakah kau mampu untuk melepaskan apa yang kau suka untuk mendermakannya pada orang-orang tercinta. Barangkali seperti melemparkan kembali purnama ke tempat asalnya. Menabung derita sebentar untuk kemudian menyaksikan orang-orang tercinta tersenyum di dalam naung kebahagiaan.

Aydra, di tengah kondisi yang serba merujuk pada keberlebihan isme yang materi, sering terpampang ihwal yang jomplang karena tidak dalam kesesuaian. Banyak hal kini tidak selaras, berat sebelah, dan tidak belandaskan pada asas keadilan. Di hadapan pemiring hukum, kita hanyalah uang. Dua kata “berani berapa” adalah mantra pembuka jalan kemudahan dan kelancaran.

Aydra, pada ketidakjelasan ini, kita sering luput membedakan mana yang murni mana yang oplosan. Semua menjadi tampak serba mumet di tengah kondisi yang ruwet. Keributan tidak lagi bisa terhindarkan. Semua lini telah mencapai taraf kemacetan dan kemampatan. Kau di mana Aydra. Pada kondisi yang rawan aku membutuhkanmu.

Aydra, satu persatu persoalan bermunculan. Mengambang di permukaan keruh dan berbau busuk. Topeng-topeng kemunafikan dijajakan di layar kaca. Ke mana lagi aku harus mencari segala yang tulus. Sedang yang beredar hanya kamuflase dan kedok semata.

Aydra, tentu kau mendengar kejadian yang belakangan ini menjadi perbincangan hangat banyak orang. Satu persatu masalah mulai dibuka. Satu persatu dari mereka mulai ditetapkan menjadi tersangka oleh mereka yang juga berkecimpung di lahan yang sama. Satu persatu kerikil di tengah jalan mulai disingkirkan. Dan batu-batu besar telah siap diletakkan. Mereka mengkritik ketidakadilan untuk mendapatkan kursi dan melakukan ketidakadilan pada masa mendatang. Mereka protes karena mereka tidak mendapatkan bagian dan jatah dari keuntungan yang tengah terjadi. Mereka berteriak karena perutnya yang tidak turut diajak dalam bancakan demokrasi. Mereka macak musuh padahal sebenarnya kawan seperbajingan. Aydra, aku membutuhkanmu dalam segala kondisi. Terlebih pada kondisi yang membingungkan begini.

Setelah beberapa kemandirian yang digalakkan dengan berbagai cara. Kini bermunculan kelucuan yang mendadak viral di beberapa media. Mereka yang dengan sadar meminta bantuan pada tempat yang buka semestinya. Mereka, para yang kewalahan menghadapi ranjau yang tercipta dari saudara sebangsa mereka sendiri. Penghuni rumah yang merobohkan rumahnya sendiri dari dalam, perlahan namun pasti. Aydra, aku terenyuh mendengar para atasan meminta bantuan kepada bawahan. Ini tidak biasa Aydra, ora umum. Ini adalah peristiwa penting yang patut dicatat dalam binder warna-warni. Mereka yang biasanya menipu kini meminta untuk dibantu. Mari, Aydra, kita satukan tekad dalam upaya membangun kesejahteraan dan kemajuan di tengah kondisi yang belum sarapan. Mari, Aydra, kita turut berjuang menegakkan segala yang miring di tengah tubuh kita yang gemetar dilanda lapar. Sebagai manusia kita perlu bersesama untuk hidup yang senantiasa diidak-idak. Sebagai manusia yang terhimpun dalam golongan papa kita perlu bertindak.

Aydra, cerita di atas hanyalah fiktif belaka. Yang nyata hanya tentang purnama, kau, dan beberapa rindu yang sedang haha huhu. Juga klarifikasi mengenai purnama yang semoga sudi kau berikan pada orang-orang tercinta. Mendermakan cinta pada mereka yang kalah dan hampir putus asa.


Surakarta, 02 03 2023

/Ya Manusa 


Komentar