Kereta Lodaya
[Warning! Spoiler alert! Cerpen
ini mengandung spoiler buku (1. Hujan Menulis Ayam-Sutardji Calzoum
Bachri, 2. Penampungan Orang-orang
Terbuang-Guillermo Rosales, 3. Please
Look After Mom-Kyung Sook Shin, 4. Full
House-Woon Seo Yoon) dan film Where
the Crawdads Sing.]
Bel
stasiun yang menandai kedatangan kereta telah berbunyi bersamaan dengan deru
mesin kereta dan gesekan sepatu dan sendal penumpang yang lari terbirit-birit
berebut pintu keluar dan masuk gerbong kereta. Lily menyaksikan itu sembari
menyeruput coklat panas yang baru saja ia beli di restorasi kereta. Tujuan
perjalanannya masih jauh, masih membutuhkan waktu empat jam lagi untuk sampai. Lily
selalu memesan tempat duduk di samping jendela karena ia bisa bersandar ke
jendela jika ingin tidur dan tentu bisa melihat pemandangan keluar jendela
tanpa halangan. Tempat duduk di sampingnya kosong sejak ia masuk. Sebuah
kemerdekaan bagi Lily karena ia tak perlu khawatir untuk menegur dan permisi
pada orang lain jika ingin pergi, ke toilet misalnya.
Ah,
baru saja dibicarakan, langsung datang penumpang kursi sebelah. Ternyata
laki-laki. Ketika datang, dia langsung bicara, “Permisi, ya,” karena ia akan
meletakkan tasnya di tempat penyimpanan. Lily tidak menjawab, hanya
menganggukkan kepala dan telah bersiap-siap membaca komik bekas yang baru
dibelinya akhir-akhir ini.
Laki-laki
itu mengenakan kaos putih berbalut
celana jeans biru. Sederhana sekali, tapi Lily pikir setelan itu cocok
sekali dengan laki-laki itu. Tanpa menghiraukan laki-laki itu lagi, Lily
langsung membaca.
“Eh?
Baca Full House juga?” tiba-tiba
laki-laki itu berbicara. Lily tidak jadi melanjutkan membaca.
“Iyaa,
kamu baca juga?” jawab Lily.
“Iya,
tapi udah lama banget. Itu komik legend
banget pada jamannya kan hahaha,” katanya sambil tertawa pendek.
“Bener,
tapi aku baru ada kesempatan baca sekarang sih. Kalo dramanya udah nonton?”
“Udah
juga. Beda tuh ceritanya, Full House
di komik kan kebakaran, kalau di drama engga kan, ceritanya banyak yang beda,”
“Eh
eh, spoiler!”
“Eh?
Belum sampe itu?” katanya dengan nada sedikit terkejut.
“Beluum!
Aku mau selesein dulu tinggal dikit lagi nih,”
“Oke,”
jawabnya singkat. Laki-laki itu pun langsung mengambil buku juga di tas kecil
yang ia bawa.
Beberapa
saat bel keberangkatan kereta berbunyi. Kereta melaju meninggalkan semua yang
tampak mengecil. Lily dan laki-laki itu khusyuk dengan bacaannya masing-masing.
---
Lily
telah selesai membaca Full House seri
kelima dan penasaran buku apa yang dibawa dan dibaca laki-laki itu.
“Lagi
baca apa?” tanya Lily.
“Hujan Menulis Ayam. Penulis Indo, nih,”
jawabnya.
“Siapa
tuh?”
“Sutardji
Calzoum Bachri kalau kamu tahu,”
“Ohh,
tahu! Itu yang terkenal Winka Sihka
kan?”
“Betuuuul,
materi jaman SMA banget itu,”
“Iya
juga hahaha,”
“Mau
tahu isinya nggak?”
“Boleh,”
“Ada
satu cerpen di sini yang pas aku selesai bacanya bikin langsung diem dan ga
kepengin ngapa-ngapain. Kamu pernah ngalamin gitu nggak?”
“Emm..
Engga kayanya siih,”
“Judulnya
Tahi,”
“Harus
tahi banget nih judulnya? Hahaha” Lily tertawa keras.
“Iyaa,
beneran ini hahaha,” Laki-laki itu juga tertawa.
“Hahaha
oke lanjut, gimana tuh isinya?”
“Jadi
nih, ada satu tokoh yang pagi-pagi, ya kamu tahulah, kepengin pup gitu. Dia pup
di kaleng terus ditaro di deket pintu rumahnya di belakang. Dia pup di kaleng
biar nanti malem dia bisa buang kaleng itu di sungai, biar ga ketahuan
orang-orang,”
“Serius
blak-blakan gitu nulisnya? Hahaha,” tanya Lily sembari terus tertawa.
“Iya
serius haha. Lanjut nih. Abis pup itu dia pergi ke kota, ya, cari uang sama
makan. Di kota kebetulan dia ketemu sama temannya. Mereka bercandaan satir
gitu, bilang sama-sama gendutan, padahal mereka kurus yang tulangnya aja
keliatan. Temennya ternyata belum makan empat hari. Namanya temen kan, biasanya
bercandaan gitu. Nah, si tokoh akunya bilang ke temennya gini, ‘Tuh, di rumahku
ada nasi goreng, makan aja, di belakang pintu rumahku, ya’ katanya. Temennya
langsung pergi ke rumahnya dan si aku ini ketawa-ketawa. Sampai sorenya si aku
masih di kota, terus pulanglah dia ke rumah. Sampi rumah dia langsung ngecek
kaleng yang dia taro di belakang pintu rumahnya itu. Dia kaget. Kenapa coba?”
“Kenapa?”
“Isinya
hilang,”
“Hahh?
Te.. temennya ma.. kan?” ucap Lily sedikit terbata-bata karena kaget.
“Si
aku langsung nyamperin temennya di ruang tamu. Temennya langsung bilang,
‘Makasih ya, nasi gorengnya enak’,”
“Hahhh?”
Lily reflek menutup mulutnya.
“Si
aku ini kaget, terus tanya, ‘Kamu beneran makan tahi itu? Ini aku bawain rames,
dua, untuk aku sama kamu, ayo makan’, temennya bilang, ‘Nggak, aku sudah
kenyang, nasi gorengmu enak sekali, aku pulang saja, makasih ya’ Si aku ini
terus nawarin temennya buat bawa ramesnya, tapi temennya selalu nolak dan
akhirnya dia cuma bawa uang rokok yang ga seberapa,”
“Sumpah?
Ceritanya gitu? Cerita Sintiiing!” Lily sedikit berkaca-kaca matanya.
“Asli,
aku juga pusing banget abis baca itu,” kata laki-laki itu sambil memegang
keningnya dengan tangan.
“Sedih
banget. Itu kan tahi,”
“Iya
tahi,”
“Kebayang
nggak sih kalo beneran. Tahi lo itu,”
“Hahaha
iya sih. Tapi, semoga sih cuma cerita aja ya. Bayangin aja, kalo kita cebok
terus nggak sabunan aja tangannya bau kan, gimana coba kalo dimakan, nafasnya
bau t....”
“Hahahahaha
jorok banget bahasnya,” Lily dan laki-laki itu kemudian tertawa terbahak-bahak
bersama.
Kereta
masih melaju cepat menuju kota tujuan Lily. Masih sekitar tiga jam lagi. Lily
dan laki-laki itu masih terus berbincang. Entah saat kereta melaju ataupun
kereta berhenti, mereka tidak bisa berhenti berbincang.
“Tapi,
ngomongin tahi itu, aku jadi inget buku yang pernah aku baca,”
“Buku
apa tuh?” tanya laki-laki itu.
“Penampungan Orang-orang Terbuang, pernah
baca nggak?”
“Guillermo
Rosales?”
“Ih
bener, udah baca juga?”
“Udah,
kayanya awal tahun ini aku bacanya,”
“Wahh!
Aku jadi keinget penghuni panti yang sering buang kotoran sembarangan,”
“Kalo
itu cerita kotoran versi ngeselin sih,”
“Tapi,
rasanya sedih juga lo,”
“Ya,
iya juga sih. Baca itu sampe selesai aja butuh effort lebih karena isinya nguras emosi banget,”
“Asli,
aku juga. Tapi, menantangnya emang di situ. Rasanya bayangan di otak ga pernah
berhenti soalnya isinya bener-bener di luar dugaan.”
“Adegan
apa yang paling kebayang sampe sekarang?”
“Emm..
Waktu Arsenio minta jatah ke cewe panti, terus William ngehajar habis-habisan
waktu Reyes kencing sembarangan, jatah makanan yang nggak banget, terus yang
bagian akhir-akhir gitu antara William sama cewe panti baru, duh lupa namanya
siapa,”
“Eh?
Inget nama-namanya?”
“Iya
dong. Emang kamu engga?”
“Engga
lah. Biasanya cuma inget kalau bukunya belum lama banget dibaca. Kalau udah
lama ya lupa,”
“Iya
sih. Sejauh ini, kamu udah baca buku dari penulis siapa aja?”
“Banyak
sih. Mau disebutin semua?”
“Nggak
hahaha. Kebanyakan ntar. Yang kamu suka aja,”
“Emm..
Kalau yang paling suka sih nggak ada. Cuma akhir-akhir ini lagi baca Haruki
aja,”
“Wah,
aku belum ada kesempatan baca buku Haruki. Kalau penulis Jepang lain ada?”
“Ada,
beberapa, Yoshimoto Banana, Sakae Tsuboi, Natsume Soseki, ya, itu,”
“Yoshimoto
itu bukunya yang Kitchen bukan?”
“Iya
bener, yang itu,”
“Bagus
nggak?”
“Bagus.
Kata anak buku itu rekomended banget
hahaha,”
“Hahaha
boleh deh. Aduh, list baru lagi,”
“Padahal
tbr banyak? Hahaha,”
“Aduh
ngerti aja, sih,”
“Ngomongin
soal keji-kejian. Aku jadi inget film di Netflix,”
“Di
Netflix tuh banyak lagi cerita keji-kejian,”
“Iya
sihh, hahaha,”
“Hahaha,
apa judulnya?”
“Where the Crowdads Sing,”
“Ahh,
aku udah masukin list, tapi belum sempet nonton,”
“Mau
diceritain? Hahaha,”
“Nggak!
Hahaha,”
“Okedehhh,”
jawab laki-laki itu dengan nada pura-pura kecewa.
“Hahaha,
yaudah ceritain. Aku sudah siap dengan dunia penuh spoiler ini,”
“Ceritanya
tentang gadis yang tinggal di rawa. Dia sejak kecil ngalamin KDRT. Bapaknya
sering marah-marah, mukul, dan ngerusak barang. Karena itu semua keluarganya
pergi. Dia ditinggal sendiri sama bapaknya di rumah itu. Tapi, nggak lama bapaknya
pergi juga, padahal dia masih anak-anak. Akhirnya dia bertahan hidup di rumah
rawa itu sampai besar. Pas besar, dia ketemu sama cowo yang sebenernya pernah
ketemu juga waktu kecil. Nggak lama mereka pacaran. Tapi, nggak lama juga cowo
itu pergi. Cowo itu nggak pernah ada kabar sampai akhirnya cewe itu ngerasa
udah ngga berharap lagi sama cowo itu. Terus tahu gak abis itu ngapain?”
“Ketemu
cowo lagi?”
“Kok
tahu sih? Hahaha,”
“Iyalah,
kadang, move on paling cepet itu
emang cari cowo baru, kan, hahaha,”
“Hahaha,
emang iya gitu? Oke lanjut, cewe itu ketemu sama cowo lain. Nggak lama mereka
pacaran juga. Nggak lama juga ternyata cowonya ketahuan bohong kalau dia udah
punya tunangan. Padahal selama ini mereka asik-asik aja pacarannya. Tapi, sejak
ketahuan itu, cowonya mulai keliatan aslinya. Suka marah-marah, mukul, ngerusak
barang, bahkan ada adegan cowonya mau ngajak kaya gituan tapi maksa. Cewenya
makin takut karena ngingetin dia sama trauma dia waktu kecil kan. Nah suatu
ketika, si cowo ini ditemuin udah mati jatoh dari menara di rawa. Nggak ada
tanda-tanda pembunuhan sama sekali soalnya nggak ada jejak kaki selain jejak
kakinya si cowo. Tapi, ada satu barang yang hilang dari tubuh si cowo. Kalung
kerang yang dikasih sama si cewe. Nah sejak itu, si cewe dituduh membunuh si
cowo,”
“Terus
akhirnya? Bunuh diri atau?”
“Si
cewe ini memang dijauhin sama orang-orang karena orang-orang nganggep dia orang
hina gitulah. Tapi, ada juga yang ngasihani dia, ngerasa dia juga manusia dan
nggak salah apa-apa, tapi kok sengaja disingkirkan dari masyarakat. Terus ada
pengacara yang mau bela dia di pengadilan buat buktiin dia nggak bersalah.
Pengacara itu mau ngebuktiin kalau si cewe cuma korban yang dikucilkan dari
masyarakat. Singkat cerita akhirnya dia nggak terbukti ngebunuh. Dan nggak lama
setelah itu, si cewe ini nikah sama cowo pertamanya. Hidup bahagia sampai tua.”
“Kok
gampang banget alurnya ditebak? Ah gajadi nonton kalo gitu,”
“Oiya
si cewe ini nerbitin buku semacam ensiklopedia gitu, dia suka gambar. Nah pas
si cewe udah meninggal karena usia, suaminya iseng-iseng liatin buku-buku sama
catatan yang ditulis si cewe. Terus suaminya kaget, tahu nggak kenapa?”
“Ada
foto dia nyelip di buku?”
“Bukanlah,
itu kamu kali ke pacarmu, hahaha,”
“Nggaklah.
Aku masih sendiri, hahaha” jawab Lily sambil berpura-pura memainkan tangan
menghapus air mata di wajah.
“Kamu
pernah nggak sih lihat buku dalemnya dibolongin terus diisi sesuatu?”
“Pernah,
kadang kalo lagi scroll lewat video
atau foto gitu, aku pernah lihat orang ngelamar pake buku Harry Potter yang tebel dan dalemnya cincin, hahaha, sayang banget
bukunya digituin,”
“Nah,
suami si cewe ini ngeliat ada buku si cewe yang dibolongin gitu, dan isinya
kalung kerang,”
“Omaygat..” Lily kaget. “Jadi cewenya itu
pembunuh?”
“Yupp.
Ada kalimat Ibunya yang dia pegang selama ini. Setiap Bapaknya mulai
marah-marah dan mukul, Ibunya bilang pergilah ke tempat di mana kunang-kunang
bernyanyi. Itu maksudnya pergi ke tempat yang aman. Kunang-kunang biasanya kan
hidup di tempat yang jauh dari kehidupan manusia kan. Terus nih, karena dia
tumbuh dan besar di rawa, secara nggak langsung dia belajar bertahan hidup dari
alam dan hewan-hewan yang ada di sekitarnya. Di akhir cerita, ada catatan si
cewe yang bilang kalau untuk bertahan hidup, makhluk hidup akan melakukan segala
cara. Termasuk kalau mangsa ingin hidup, pemangsa harus mati. Artinya? Si cewe beneran
ngebunuh si cowo karena menurut si cewe itulah satu-satunya cara buat dia tetap
bertahan hidup” ucap laki-laki itu pelan sekali.
“Omaygat.. ” suara Lily pelan sekali.
Selama
beberapa menit, mereka terdiam, memendam kekagetan masing-masing dan saling
memperhatikan semua yang berlalu cepat melalui jendela kereta. Sesekali Lily menghela
nafas. Sesekali laki-laki itu melakukan hal yang sama. Perjalanan masih
panjang. Lily tidak tahu laki-laki itu akan berhenti di stasiun mana. Rasanya
lily ingin mengajaknya berbicara lagi. Tetapi, selalu ia urungkan. Lily terus
melihat sawah-sawah dan rumah-rumah yang melintasi jendela.
“Kalau
kamu udah baca buku apa aja?” tiba-tiba laki-laki itu memulai.
“Emm..
Aku?”
“Iyaa,
kamu,” katanya.
“Banyak,”
“Kalo
gitu yang lagi kamu baca aja,”
“Kalo
sekarang, selain Full House, aku lagi
baca Please Look After Mom. Novel
dari Korea,”
“Ceritanya
tentang?”
“Tentang...
Seorang Ibu yang hilang di stasiun,”
“Udah
gitu aja?”
“Emang
nggak apa-apa kalo spoiler?”
“Kalo
lagi nggak baca bukunya sih, nggak apa-apa,” katanya sambil tersenyum.
“Okeey.
Siap nih? Selama Ibunya hilang, anaknya satu persatu cerita karea mulai keinget
kenangan sama ibunya. Selama berbulan-bulan Ibunya nggak ketemu-temu. Tetapi,
setelah anak-anaknya nyebar pamflet orang hilang, orang-orang ada yang
ngehubungin dan bilang mereka liat Ibu mereka yang katanya mirip sama foto yang
ada di pamflet. Orang-orang yang ngehubungin rata-rata ternyata dari tempat
tinggal anak-anaknya dulu di kota. Padahal anaknya sering pindah tempat tinggal
di kota dan anaknya ada tiga, nggak cuma satu. Kebayang nggak gimana
anak-anaknya bingung nyari Ibunya karena tempat tinggal mereka dulu
pindah-pindah? Orang-orang yang telfon rata-rata bilang Ibu mereka kaya orang
linglung, kakinya luka dan penuh nanah, dan kebingungan. Padahal katanya Ibunya
normal-normal aja sebelum hilang. Cuma emang Ibunya nggak bisa baca. Tapi, harusnya
kan bisa tanya orang kalau dia bingung, kan, tapi kenapa Ibunya nggak gitu?”
“Iyaa,
kenapa nggak tanya aja?”
“Nah
itu nggak tahu, aku baru baca sampe situ, hahaha”
“Ohhhhh
hahaha. Yah, harus baca sendiri dong aku biar tahu kenapa hilang,”
“Iya
lah. Usaha sedikit, haha”
“Hahaha.
Terus baca siapa lagi?”
“Emm..
Kalo Indo, baca Pram, Seno, Mangunwijaya, Arswendo, Leila Chudori, Oka Rusmini,
Okky Madasari, dan masih banyak lainnya, penulis-penulis baru juga aku baca,
yang indie-indie ituu, hahaha,”
“Eh
bacaan kita setipe lo. Aku juga baca penulis-penulis itu,”
“Oh
iya? Coba aku tes. Baca Canting?”
“Arswendo?
Baca dong!”
“Lagi,
lagi, Maryam?”
“Baca
laah!”
“Coba
Alina tokoh dari bukunya siapa?”
“Seno
dong,” jawab laki-laki itu sambil senyum-senyum bangga.
“Oke,
aku tes lagi. Ceritanya bapaknya sakit paru-paru terus anaknya pulang kampung.
Itu bukunya siapa?”
“Hah?
Emang ada?”
“Ada
lah,”
“Ohhhh!
Bukan Pasar Malam?”
“Ih
ko tahu juga sih, haha”
“Tahu
lah! Buku apalagi coba?”
“Emm..
Coba ini, jarang dibahas orang nih. Ceritanya tentang kepala desa di Bali,”
“Di
Bali? Itu sih jelas Oka Rusmini,”
“Oh
iya ya! Hahahaha,” Lily dan laki-laki itu tertawa bersamaan.
“Kok
kita kaya akrab banget sih, padahal pertama ketemu,”
“Hahaha
iya, lagian orang yang sama-sama suka buku ngobrol, ya nyambung lah!”
“Hahaha
iyaa sih. Cocok berarti ya kita,”
“Hahaha,
cocok apaan,” Lily tertawa menyembunyikan malu-malu di mukanya.
“Eh,
kalo Nal Samudra baca nggak?”
“Ohh
iya, itu penulis baru, baca, baca,”
“Paling
suka buku yang mana?”
“Yang
judulnya Pertemuan. Aku paling suka tokoh yang suka baca buku, jadi buku
itu juga membekas banget, mana berasa dikasih rekomendasi buku banyak banget
lagi,”
“Iya
dong, emang tujuannya biar orang-orang tahu ada banyak buku yang bagus,”
“Mungkin
ya, hanya penulis yang tahu, hahaha,”
“Iya
tujuannya emang begitu, aku suka orang-orang kenal juga buku-buku dari penulis
lain,”
“Maksudnya?
Kok aku? Emang kamu yang nulis?”
“Nal
Samudra lah yang nulis,”
“Yeee,
itu sih iya,”
“Oiya,
kamu turun di mana?”
“Solo.
Kamu di mana?”
“Di
Jogja. Yahh, aku duluan yang turun,”
“Yahh,
aku masih lama turunnya,”
“Hahaha
kasian,”
“Hahaha,”
“Sabtu
besok ada acara launching buku kamu
mau dateng nggak?”
“Di
Jogja?”
“Iyaa,”
“Bukunya
siapa?”
“Nal
Samudra,”
“Hah?
Serius? Yang judulnya Kereta Selatan
itu?”
“Iyaa,
betul bangeeeet!”
“Bisa
nggak, ya. Nggak tahu deh. Nal Samudra biasanya kan nggak mau ngeliatin mukanya,
dia jaim-jaim gitu kan, beneran sekarang mau ngeliatin mukanya ke orang-orang?”
“Hahaha,
iya kali. Itu buktinya mau ngadain launching
buku,”
“Gimana
besok, deh,”
“Dateng
aja, ntar ketemu aku lagi, hahaha,”
“Nggak
mau kalo gitu, hahaha,”
Lagi-lagi,
percakapan mereka berakhir dengan tertawa lagi. Terus begitu sampai masinis
kereta mengumumkan jika kereta sesaat lagi akan tiba di stasiun Tugu
Yogyakarta. Laki-laki itu bersiap dan menurunkan tasnya dari tempat penyimpanan
barang. Beberapa saat sebelum turun, ia berkata pada Lily, “Datang ya, ketemu
aku lagi,”
“Nggak
bisa janji,”
“Eh
kita belum kenalan lo,”
“Eh,
iya ya. Aku Lily, kamu?”
“Nal
Samudra,”
“Hah?
Serius?”
“Serius,
hahaha,”
“Bercanda
terus ah, pake ketawa lagi,”
“Eh,
serius, serius. Seratus rius buat Lily,”
“Serius?
Nal?”
“Sejuta
rius,”
“Serius?”
“Serius
astaga. Udah berhenti nih, aku duluan ya. Jangan lupa dateng!”
Lily
terdiam melihat Nal berjalan meninggalkan kursi penumpang. Tetapi, beberapa
saat, Nal kembali lagi menjumpai Lily, ia berkata, “Senang bisa ketemu kamu!
Dateng ya!” Nal kemudian lari sebelum kereta benar-benar melaju lagi.
Lily
tidak menjawab. Ia terdiam mematung dan tak bisa berkata apa-apa selain
melambaikan tangan. Tanpa sadar tubuhnya langsung menghadap jendela dan
mencari-cari keberadaan Nal. Nal masih berdiri di peron kereta dan melihat Lily
di jendela. Kereta melaju dan Lily melihat Nal semakin mengecil dari kejauhan.
Surakarta, 27 Juli 2023
Gadis akhir abad 20
Komentar
Posting Komentar