SELAMAT TINGGAL



            Sejak hujan turun dengan derasnya. Kemudian rampung tiba-tiba setelahnya. Maratus tidak lagi menetap di rumah yang sebelumnya ia tempati. Ia telah pindah dan kini menetap di dada dua lelaki yang berlokasi di kaki bukit kapur dengan sungai-sungai yang kering dan bukit-bukit yang tampak menguning pada kemarau. Maratus memutuskan menetap di sana. Menjalani kehidupan seperti manusia pada umumnya di sana. Kadang menjadi buruh buang benang, kadang menjadi tenaga lipat baju di usaha konveksi tetangga, atau mengikuti doa bersama ketika ada tetangga yang mati.

            Maratus senang dan menikmati. Hari-hari yang basah perlahan mengering. Sungai-sungai yang kering mulai mengalir. Upah yang tidak seberapa selalu cukup untuk hidup. Kecuali menuruti keinginan yang tidak pernah habis. Kecuali menuruti kemenangan dalam perlombaan yang tidak tahu kapan selesainya.

            Maratus tinggal bertiga dan hanya dirinya yang berjenis manusia. Sisanya adalah dua kucing liar desa yang datang menjelang malam, meminta jatah kasih sayang. Beberapa hari selalu datang, Maratus selalu menambahi bahan belanjaan untuk makan dengan seekor pindang asap sebagai jatah dua kucing yang belum bernama. Maratus menggorengnya. Meletakkannya di lemari makanan. Menunggu sore raib dan dua kucing datang dari pintu belakang. Mengeong, “Adakah kasih sayang?”

            Meski begitu Maratus tidak pernah benar-benar dapat dikatakan sebagai pecinta kucing. Maratus hanya akibat. Dan dua kucing itu juga tidak bisa dikatakan sebagai kucing milik Maratus. Dua kucing itu tetap saja kucing liar milik desa. Siapapun tidak berhak mendakunya.

            Selain kucing, ada juga beberapa ayam tetangga yang sering hilir mudik di depan rumah Maratus. Tentunya dengan meninggalkan bingkisan kecil berupa tai ketika ayam-ayam itu pergi. Dan entah sudah berapa kali Maratus membersihkan tai ayam dengan genre yang beragam tersebut. Maratus tidak pernah protes—apalagi mengadakan unjuk rasa besar-besaran dengan tuntutan pelarangan ayam berkeliaran. Kesal, iya. Tapi itu bukanlah alasan untuk menjadi sebab lahirnya unjuk rasa di kepala Maratus. Maratus hanya lebih mewaspadai ketika sekumpulan ayam mendatangi rumahnya dengan menaruh sebilah kayu dengan beberapa plastik yang ditali pada ujungnya. Semacam teknologi dalam mengusir ayam yang ia adaptasi dari orang-orangan sawah milik petani. Ketika ayam-ayam itu datang, tangan sudah siap meraih sebilah kayu untuk kemudian dimain-mainkan sebagai sebentuk usaha menciptakan rasa takut pada ayam.

            Rata-rata orang di tempat tinggal baru Maratus berprofesi sebagai petani, dulunya. Sekarang profesi itu berubah seiring dengan ketidakpercayaan dan nasib yang kurang menguntungkan. Orang-orang mulai menjajaki pekerjaan baru. Jenis pekerjaan yang diimpor dari sajian para tetangga yang sukses di perantauan. Ada yang membuka usaha konveksi kecil-kecilan, ada yang memulai dengan berjualan online sebagai reseller dengan komisi persenan, ada yang mengikuti balai pelatihan dengan harapan sesegera mungkin diberangkatkan ke negeri seberang, ada pula yang tanpa disadari telah menggantungkan nasibnya pada keberuntungan otak-atik angka—judi, maksudnya.

            Perubahan adalah kepastian, Maratus mengiyakan. Ke mana tujuan perubahan, Maratus menanyakan.

            Semakin ke sini, lingkungan yang menjadi tempat tinggal Maratus mulai lengang, sepi, dan krisis penghuni. Tidak lagi ada perayaan akhir pekan, festival-festival dadakan, atau pasar malam yang mulai berkurang penikmatnya. Maratus dan kita tidak pernah tahu tujuan pasti ke mana bangsa menuju. Pergerakan peradaban terkesan ugal-ugalan dan tantrum. Manusia semakin sulit diatur dan barangkali karena itulah banyak bermunculan peraturan.

Tiba-tiba dua kucing yang biasa datang menjelang malam mendadak datang lebih awal, membawa satu kucing hitam abu, barangkali rekan seperjuangan atau entahlah, Maratus harus segera menyiapkan makanan sebelum ngeong kucing menjelma protes keras rakyat kepada penguasa. Tiga kucing makan dengan lahapnya. Nasi dan beberapa suwir ikan pindang goreng berwadah piring plastik tanpa kobokan tandas. Tidak butuh waktu panjang untuk merampungkan sepiring makanan. Tiga kucing duduk-duduk sebentar sembari menyelamatkan makanan yang berteduh di gigi mereka yang tajam. Kemudian, tiga kucing pergi. Meninggalkan Maratus sambil mengeong tiada henti.

            Ngeong tiga kucing adalah ucapan selamat tinggal, barangkali. Selamat tinggal meninggalkan dan selamat tinggal ditinggalkan. Selamat tinggal sebagai pergi, selamat tinggal sebagai pulang. Atau terima kasih. Atau…

 

Surakarta, 25 Juli 2023

/Samana

Komentar