TANYA

 

Tus, kau mungkin akan memikirkan hari kemarin. Setidaknya, kau akan sedikit kesulitan untuk tidur. Atau lupa bagaimana cara memberikan senyum pada sepiring makan siangmu.

Tus, kau tentu tahu. Bukan berarti aku tidak bicara hanya karena sepatah katapun tidak keluar dari mulutku. Kau tahu, pembicaraan bukan hanya sebatas tinggi rendah suara. Kau tahu dan bahkan adikmu yang belakangan tidak dapat masuk ke sekolah negeri karena tersingkir jalur zonasi pun kukira juga tahu. Suara bukan sekadar kata, begitupun sebaliknya. Dan bicara tidak hanya berhenti pada persoalan mulut kita yang sebentar-sebentar mengatup sebentar-sebentar membuka.

Tus, surat ini adalah salah satu cara bagaimana aku bicara. Dan bicara, adalah salah satu caraku untuk tetap hidup. Jangan kau kira orang yang diam lantas tidak hidup. Diam adalah bentuk bahasa dan salah satu jenis gaya bicara—dengan tidak bicara.

Tus, tiga paragraf di atas seharusnya telah sampai kepadamu. Bersama beberapa hal yang tiga hari lalu telah aku kirimkan melalui agen ekspedisi terdekat sekaligus termurah. Ya, ekonomiku sekarang ini sedang memintaku untuk melamar hal-hal yang ekonomis. Jadi, maklum-maklumlah kamu kalau perjalanan sedikit membutuhkan waktu yang lumayan, lama.

Tus, katamu Si Empus—piaraanmu—sudah tidak lagi mendorong debu. Si Empus sekarang menulis puisi. Setiap malam sampai pagi. Bangun siang, mandi, kemudian menghadap laptop untuk menulis puisi. Ia tidak lagi bertemu matahari, tidak bertemu kehidupan. Ia tidak lagi menemuimu seminggu sekali. Bertukar kabar atau berbagi informasi, tidak lagi.

Ya, mungkin tidak ada lagi debu yang didorong Si Empus. Atau Si Empus mulai lelah—meski untuk ini kurasa tidak. Yang jelas, ia tidak lagi mendorong debu. Seperti berjuta-juta kali dikutip dalam puisi, dialog naskah titer, atau nyempil dalam percakapan sebagai sebentuk pendukung tingkat pengetahuan.

Tus, Maratus, Maratus Tahun, setengah abad namamu. Dengan ini berakhirlah kata-kata.

 

Yang mencintaimu,

/Mingun

 

Surat di atas adalah surat terakhir yang dibaca Maratus setelah ia memutuskan untuk tidak lagi berhubungan dengan kekasihnya. Maksudnya, mantan kekasihnya. Surat pamungkas yang sebenarnya tidak berisi hal-hal yang penting dan malah cenderung ‘b’ aja. Seperti kata anak muda pada era ini. ‘b’ aja untuk hal-hal yang tidak mendatangkan keuntungan berupa alat tukar sah pembelian.

Di dalam kontrakan kecil, Maratus menjalani hidup baru sebagai seorang pegawai toko buku. Setelah sebelumnya menganggur dan tidak ngapa-ngapain. Hari-hari selalu penuh dengan hal-hal yang menyangkut buku. Maklum, namanya juga toko buku.

Maratus berangkat pagi pukul sembilan dan pulang pada pukul yang sama, malam. Maratus tidak terikat akan jam kerja pada umumnya. Maksudnya, jam kerjanya lebih lama dari jam kerja para pekerja di pabrik-pabrik yang jam kerjanya telah diatur sedemikan rupa. Meski begitu, Maratus tetap menjalaninya dengan gembira. Hati yang rela dan tubuh yang penuh semangat setiap paginya. Lelah, pasti. Tapi, bagi Maratus, lelah itu perlu. Setidaknya untuk menandai kalau ia belum mati.

Seperti siang pada umumnya. Maratus isama beberapa saat sebelum pukul menunjuk satu tepat. Di depan ruang kerja Maratus telah dijaga barisan huruf-huruf. Lumayan rapi. Bertuliskan “istirahat dulu”. Maksudnya, sudahlah tidak perlu kebanyakan maksudnya. Langsung saja ke intinya.

Jarum jam menunjuk pukul satu. Toko buku kembali buka dengan kerelaan yang senantiasa. Satu dua pengunjung belum kelihatan batang hidungnya. Maratus tidak menunggu. Tidak pernah, sungguh. Baginya, menunggu adalah nama lain dari kesepian. Untuk itu Maratus tidak pernah menunggu pelanggan. Bukan, bukan maksudnya Maratus tidak serius dalam bekerja karena dia hanya menjabat sebagai pegawai dan toko buku itu bukan miliknya. Bukan, maksud dari pernyataan di atas adalah… Kalian pasti mengerti.

Seorang tua masuk ke toko buku. Ya, seorang yang benar-benar tua. Berkacamata. Berkemeja polos warna biru, dengan celana kain kusam abu-abu. Bersepatu, juga bertopi gambar orang berkuda yang mulai raib satu persatu benang yang menyusunnya.

“Silakan, Pak.” Seperti biasa Maratus mulai menyapa, “Mau cari buku apa, bisa dibantu, atau mau lihat-lihat sendiri koleksi kami, ada di situ, silakan” Maratus menunjuk jajaran rak buku sembari tersenyum kepada Pak Tua yang langsung berjalan menuju tempat yang ditunjuk Maratus.

Di rak bagian buku agama, geser ke kanan, Pak Tua menuju rak tempat koleksi cerita-cerita fiksi. Satu dua buku kecil anak-anak ia raih dengan tangannya yang sebentar-sebentar dilanda gempa.

“Mungkin untuk cucunya” pikir Maratus sesekali mengamati Pak Tua.

Pak Tua meletakkan buku anak-anak ke tempat semula. Ia berpindah dua langkah, menuju sekumpulan novel Indonesia dan beberapa kumpulan cerita pendek yang juga Indonesia di sisi sebelah kanannya.

Tangan Pak Tua melayang. Matanya ia pindahkan ke ujung jari tangan kanannya. Mengamati satu persatu buku melalui ujung jari telunjuknya dan… “Nak, bisa bantu saya?”

Maratus sedikit kaget sebab belum siap, “Oh, eh, iya Pak. Sebentar.”

Maratus buru-buru menghampiri Pak Tua, “Cari buku apa Pak?” tanyanya memastikan.

“Saya, ini, cari buku yang pernah dibaca istri saya. Bukunya kecil seukuran ini (sambil menujuk buku anak-anak yang barusan ia pegang) tapi lebih tebal sedikit. Kira-kira yang mana ya?”

“Judulnya apa pak atau mungkin penulisnya siapa?”

“E… apa ya, saya lupa, lebih tepatnya tidak tahu, saya tidak bisa baca. Pokoknya bukunya kecil dan sampulnya berwarna biru kusam, nah, seperti ini, ya, seperti warna baju saya.”

“Wah, bagaimana ya Pak, buku seperti itu banyak dan saya kurang paham untuk menemukan buku yang Bapak cari melalui ciri-ciri yang Bapak katakan tadi. Atau Bapak bisa tanyakan ke istrinya dulu dan besok kembali ke sini lagi. Untuk memastikan buku mana yang hendak dituju?”

“Oya, baik, ide bagus. Tapi…”

Matahari pulang. Para pegawai yang rindu rumah tumpah ruah di jalanan. Beribu-ribu nyawa terbang. Hari malam. Lampu-lampu toko menyala. Maratus duduk-duduk di ruangnya. Mendata buku. Mencatat segala yang perlu diacatat. Buku yang terjual. Buku yang terbeli. Berapa pelanggan yang datang. Berapa pelanggan yang pergi. Tidak ketinggalan, Pak Tua yang tadi.

 

Surakarta, 22 Juli 2023

/Samana 

Komentar